Tanpa maaf
by:intan fitriana
by:intan fitriana
Aku tak mampu lagi menangis, air mataku
tampaknya sudah habis. Aku seolah mencibir lelaki itu,ayahku. Tapi, tak ada
sepatah kata pun yang keluar. Wanita yang hanya lebih tua 3 tahun dariku itu
menangis, tetapi tatapan matanya tak pernah lepas dariku, tatapan matanya
seolah bertanya ‘kenapa?’. suara gaduh keluar dari pintu pink tak jauh dari
tempat kami duduk. Adik perempuanku meronta-ronta ingin buang air kecil, tapi,
ayah sama sekali tak mengizinkan. Kakakku juga. Aku tak mampu melakukan apapun.
Aku hanya terdiam. Suara gaduh itu berakhir, ku rasa air seninya telah tumpah
di dalam kamar kecil itu. keheningan tercipta diantara kami.
“sejak kapan?” tanya pria paruh baya itu datar. Pertanyaan
tak cukup jelas untuk dicerna. Tapi, aku tau maksudnya.
“belum lama.” Jawabku datar sambil
menggulung-gulung kertas yang sejak tadi memang ku genggam. Aku tak punya cukup
keberanian untuk menatap pria itu.
“Lihat mata,ayah. Sejak kapan?” suara mulai
memberat. Amarahnya mulai mengalir. Ku angkat kepalaku perlahan. Ku tatap mata
hitamnya yang bulat itu.
“kelas tujuh.” Tak ada aroma kepanikan
dikata-kataku. Tapi, keringat dingin membasahi setiap pelosok tubuhku.
“siapa yang ngajarin?” wanita itu mulai angkat
bicara. Ayah tak menghalanginya seperti biasa.
“coba-coba.” Jawabku seadanya. Tanganku gemetar
mendengar jawabanku. Tangan wanita itu pun turut bergetar hebat. Tapi, tangan
pria paruh baya itu diam. Seolah darahnya berhenti mengalir. Matanya
mengawasiku, tak sekalipun matanya hengkang dari tubuh mungilku.
“kenapa kamu coba?” tanya wanita itu,lagi.
“aku capek,kak.”
“capek? Capek kenapa?” tanyanya bingung.
Aku pun mulai menceritakan segalanya, tentang
aku yang lelah dicela karena perpisahan pria itu dengan orang yang mengandungku
selama Sembilan bulan lamanya, tentang aku yang bosan dikasihani oleh
teman-temanku. Aku butuh perhatian, bukan rasa kasihan. Aku butuh tempat
curhat, bukan hanya sebuah bualan fana. Aku ingin merasakan hal yang hangat
yang mungkin hanya kurasakan saat tubuhku masih merah dibalut tali pusar atau
bahkan memang tak pernah kurasakan. Saat mereka membuka telinganya lebar-lebar
untuk ceritaku. Saat dimana kakakku terlalu sibuk untuk menjawab semua
panggilan operatornya yang –kurasa-tidak lebih penting dari adiknya,aku. Saat
dimana adikku tidak terlalu sibuk bermain basket dan menabur cita-citanya
menjadi pembasket professional yang akan berlaga di NBA. Aku butuh mereka.
sekali lagi, aku butuh hal yang nyata, bukan bualan fana! Saat dimana kakakku
dengan bangga menunjukkan foto-foto kami saat berjalan-jalan kemanapun itu.
bukan hanya memposting foto dengan kekasihnya di akun
jejaring sosialnya. Sekali
lagi, kami diliputi rasa diam yang membuat setiap tubuh kami panas dan bergetar
hebat, seolah ingin meledak.
“maaf.” Sebuah kata yang melepaskan keheningan dari kami.
Suara itu amat kukenal. Suara yang sangat ku sayangi. Itu bukan suara ayah atau
kakakku. Itu suara.. Syifa, adikku.
“bukannya kamu dikurung?” tanyaku bingung.
“aku loncat dari jendela.” Ujarnya datar.
Jendela kamarnya memang berbeda dari semua jendela yang ada di rumah ini.
Jendela kamarnya adalah satusatunya jendela yang tidak tampak seperti penjara
panas.
Lanjutnya, “lagi pula, aku tak mungkin buang air
dikamar. Itu sangat menjijikan.” Aku baru saja akan tertawa mendengar penuturan
adikku saat aku sadar, aku berada disaat yang samasekali tidak mengesankan.
“sudah seberapa jauh kamu mendengar pembicaraan
kami?” tanya pria paruhbaya itu serius.
“sejak kalimat terakhir yang diucapkan Syica.”
Jawabnya seadanya. Syica adalah kakak perempuanku yang juga ikut
menginterogasiku.
Kami terdiam. Sekali lagi, keheningan tercipta
diantara kami.
***
“sudah! Jangan pernah bahas masalah ini lagi!
CUKUP!” keributan kembali hadir dirumah mungil kami ini.
“katakan saja. Apa maumu?” ujar seorang pria paruh baya itu
pada seorang wanita yang –kurasa- mengandungku selama Sembilan bulan tanpa
henti.
“cerai? Baiklah.” Pria paruh baya itu menjawab
pertanyaannya sebelum si wanita itu menjawab pertanyaanya. Usiaku saat itu 8
tahun. Dan seorang gadis kecil yang cantik jelita sedang membalik-balikkan buku
tulisku. Seorang wanita lainnya,Syica, menutup telinganya dengan sebuah bantal
bergambar doraemon yang diberikan lelaki paruh baya itu
saat ulang tahunnya ke-10 yang lalu. samar-samar matanya kulihat terbanjiri
oleh air mata yang mengalir tanpa henti. Pipi gembulnya mulai basah kuyub. Aku
tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tetap terus menulis, mengerjakan PR yang
diberikan oleh guru bahasa Indonesiaku. Aku hanya seorang anak lemah yang bodoh
dan menyesal tidak melakukan apapun saat itu.
***
Tepat empat belas bulan sejak kejadian
pertengkaran itu terjadi, sejak pertengkaran itu pula, aku tak pernah mendengar
bunyi riuh pertengkaran dirumah bilik nan mungil kami. Sejak saat itu pula, aku
tak pernah melihat wanita paruhbaya itu membuatkan susu kaleng untuk
adikku,Syifa. Delapan bulan yang lalu, Syica bercerita tentang ia yang bertemu
wanita paruhbaya itu bersama ayah. Ia bercerita dengan seriusnya,
“ibu, dan ayah sudah berpisah,dik. Jangan harapkan ibu
kembali. Ia sudah membawa Angelica, adik kita yang paling kecil pergi jauh.
Jangan tanya ia kemana, karena kakak juga tak tahu. Jangan pernah tanya ayah
kemana perginya mereka, kecuali, kau ingin amarahnya bangkit.” Aku hanya diam,
terus mencerna kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibirnya.
“satu hal,dik, mungkin, ini adalah kali terakhir
aku memberikan perhatian padamu dan Syifa. Karena akupun sangat merasa kekurangan
hal itu. aku harap kau mengerti. Aku akan mencari pelarian lain dari apapun
yang kuinginkan.” Aku sama sekali tak mengerti apa arti kalimat terakhir yang
diucapkan kakak perempuanku ini. Tapi, aku hanya tersenyum seolah memberikan
pengharapan padanya. Ia mengacak-acak rambutku pelan. Kemudian meninggalkan aku
dan Syifa sesaat sebelum baby
sitter kami datang.
***
Hari ini, hari yang sangat menegangkan bagiku.
Hari ini, hasil ujian nasional tingkat SD diumumkan. Aku datang bersama Syica.
Guruku bertanya, kemana perginya ayah.
“kerja.” Jawabku singkat.
Guru berusia paruh baya itu mengantarku kedepan. Dan
mengucapkan semoga sukses padaku. Ada senyum tulus menghiasi wajahnya, tapi aku
hanya diam. Tak menggubris apapun. Hatiku terlalu beku untuk tersenyum.
“ca, sebenernya ayah kemana?” tanyaku saat kami naik ke
sebuah angkutan umum.
“kerja,ric.” Jawabnya singkat. Aku diam. Sesampainya
dirumah, aku kembali mempertanyakan hal yang tadi kami bicarakan di angkutan
umum.
“kerjanya kok lama banget? Berangkatnya pagi-pagi.
Pulangnya malem banget. Udah tiga hari aku enggak ketemu ayah.”
“ga usah banyak nanya Enrico! Capek gue!” Syica
berjalan menuju kamarnya. Mengunci pintu itu rapat-rapat dan terdiam didalam
sana. Aku duduk disebuah bangku yang terbuat dari kayu jati murni. Mentap
langit-lagit, hingga adikku,Syica yang saat itu masih duduk dibangku kelas tiga
datang bersama mbok nah dengan hati berbunga-bunga. Mbok Nah tampak sibuk
memegang tas,rapor,dan piala anak itu. Piala? Piala apalagi itu.
“kak,Enrico, gimana tadi? Kakak lulus kan?” tanya Syifa
antusias.
“iya,Syifa. Gimana rapor kamu? Kamu juara berapa semester
ini? Trus itu piala apa?” Syifa adalah satu-satunya penyemangatku. Ia berjalan
menyusuri hidupku, mengendus tiap derita ku. Mempercaya jalan menyelesaikan
masalahku. Intinya : dialah peri kecil yang membuat setiap gerak-gerik dan
nafasku bermakna dan terasa ada.
“iya kak, akhirnya terwujud juga cita-cita ku juara satu.
Juara satunya juga ada plusplusnya pula kak!” nada suaranya sangaaat girang.
“plus-plus? Kayak pijat aja” Aku terkekeh.
“iya,kak. Aku kan juara satu kelas.. trus.. aku juga juara
satu lomba basket. Nih liat kak. Pialanya perorangan,loh! Trus ada uang
tunainya. Ga banyak sih, Cuma seratus lima puluh ribu. Tapi, lumayan kan,kak?
Gimana kalau kakak aku traktir?”
“traktir? Kok jadi aku yang kamu traktir? Harusnya kak
Enrico yang nraktir Syifa.” Aku mengacak-acak rambut adik kecilku ini.
“yang menang siapa?” tanyanya.
“Syifa.”
“yang kecil siapa?”
“Syifa.”
“yang juara lomba siapa?” tanyanya,lagi.
“jelas dong.. Syifa!” ujarku semangat.
“trus yang harus nraktir siapa?”
“Syifa dong!” jawabku reflex.
“tuh,kan.”
“hah? Syifaa! Kebiasaan!” aku paling tidak bisa ditanya
berurutan dengan jawaban yang sama seperti itu. karena, pasti aku akan menjawab
hal yang sama. Dan syifa paling suka melakukan hal itu. setelah itu pasti dia
langsung terkikik puas, seperti sekarang ini.
“ya, sudah kalau Syica maksa. Ga papa ,deh, hari ini kak
Enrico yang ditraktir.”
“bilang aja emang pingin kaaak! “ serunya sambil meletakkan
pialnya diatas meja belajarnya yang bersebelahan dengan meja belajar ku.
“kak, Syifa ga bisa belajar lagi.” Syifa tampak sedih.
“enggak bisa belajar gimana?” tanyaku bingung.
“iya, ini.. meja belajarnya penuh.” Ia terkikik melihat
wajahku yang tampak geram. Tawanya menyegarkan relung hatiku yang tandus, aku
tak kuasa marah. Aku hanya mampu ikut tertawa. Dasar Syifa!
***
Sejak naik kelas empat, Syifa tambah sibuk.
Bukan hanya sibuk bermain basket, ia juga mengikuti beberapa perlombaan untuk
menjadi sampul majalah.. aku tambah jarang bertemu dengannya, hingga akhirnya…
“udah,Ric. Coba aja. Enak tau!” Mat menawarkanku sebatang
sigaret putih. Dari caranya mengisap, tampaknya sangat lezat dan penuh
kenikmatan. Tapi, apa benar? Aku terbayang lagi wajah ayah. Hari iru, aku
menolaknya.
Keesokan harinya Mat menawarkan aku lagi benda itu,
sigaret. Akhirnya dengan berat hati, aku mencicipinya. Lama kelamaan aku mulai
terbiasa. Mat memperkenalkanku dengan Yusro. Sejak berteman dengan Yusrolah aku
mulai sering bolos sekolah. Yusro adalah Bandar Narkoba, dari dialah aku
belajar menghirup segarnya bau lem kambing. Dan meneguk dengan indah belasan
bahkan puluhan butir obat flu atau batuk. Hingga, ia menawarkanku pil warna-warni
beraneka bentuk. Ekstasi. Awalnya aku berat hati, tapi, jiwaku remuk juga,
Kucicipi benda itu. Mataku berputar-putar, kepala ku pusing, aku terdiang.
Seperempat jam kemudian, efeknya mulai bekerja. Beban pikiranku hilang, nuansa
bahaia terasa. Aku melakukannya telur setiap hari. Dan semuanya dibiayai oleh
Yusro. Hingga suatu hari, Yusro menolah memberikan benda itu padaku. Ia bilang,
jika mau, harus bayar. Aku berpikir keras. Akhirnya aku memutuskan bekerja. Aku
mengamen dari satu bus kota ke bus kota lainnya. Menjadi kuli ‘itu’, Jadi
pengojek paying saat musim hujan. Hingga suatu ketika, saat semester genap
kelas delapan, kelas kami kedatangan murid baru. Namanya Dea. Tubuhnya tidak
tinggi, mungkin tubuhnya lebih pendek sepuluh atau beberapa belas centimeter
dariku. Kulitnya putih, logat jawanya terlihat jelas. Lesung pipi menghiasi
pipi-pipinya. Tapi, ia begitu pemalu. Setidaknya sampai saat ini. Ia duduk
persis 2 meja dibelakangku.
***
Aku harus pindah dari kota kelahiranku yang juga tempatku bermukim selama tiga
belas tahun, Yogyakarta. Ayah pindah tugas ke Jakarta. Aku harus memulai
semuanya dari awal, perkenalan dengan teman-teman di Jakarta sungguh tidak mudah.
Apalagi, sebahagian besar dari mereka –kurasa- termasuk berandalan. Kelas ku
sepi, hanya sekitar dua puluh empat anak yang hadir hari ini. Padahal menurut
Chyntia, Total muridnya ada sekitar dua puluh Sembilan. Chyntia tak tahu pasti
mereka kemana. Tapi, menurut chyntya pula, aku harus bersyukur karena hari ini
jumlah murid yang datang cukup banyak. Jadi, aku bisa berkenalan dengan mereka.
Tatapan mataku tertuju pada cowok yang duduknya persis dua bangku
didepanku,Enrico. Menurut Chyntia, aku lebih baik tidak bergaul dengan Enrico,
kecuali aku mau ikut-ikutan ke pergaulannya yang tidak jelas. Chyntia
memperkenalkanku pada dua orang murid perempuan lainnya, tatapan mata mereka
mengatakan mereka memang bukan orang jahat. Keesokan harinya, Enrico tidak
masuk. Saat kutanya Chyntia, ia bilang itu sudah biasa. Enrico tidak masuk
sekitar lima hari tanpa keterangan. Ia masuk hanya sekitar dua-tiga hari
perminggu. Tapi,tak ada satu guru pun yang menegurnya. Bosan,mungkin.
Hingga suatu hari, Bu Celine memberikan tugas kelompok, padaku,Enrico,dan
Yudis. Enrico mengajak kami mengerjakan dirumahnya. Yudis dan aku tidak
keberatan. Perjalan dari sekolah kerumah hanya sekitar lima belas menit. Rumah
Enrico tidak terlalu besar, tapi, cukup mewah. Sebuah motor skuter terparkir
dirumahnya. Enrico punya adik yang masih SD,Syifa. Anaknya
periang,pengetahuannya luas. Ia menceritakan apapun. Enrico juga punya seorang
kakak, yang sangat berbeda dengan Syica. Kakaknya,Syica, sangat judes. Ia hanya
berbicara sepatah kata. Aku tak pernah bertanya,tapi,Syifa bercerita dengan
kondisi hatinya yang kesepian. Kakak-kakaknya sibuk mengerjakan pekerjaan
masing-masing. Ayahnya pulang malam terus. Syifa hanya ditemani oleh pembantu
yang mengurusnya sejak kecil. Hingga Enrico mengusir Syifa yang menurut Enrico menggangguku.
Aku menggeleng.
“Enggak apa-apa,kok.” Jawabku. Akhirnya Syifa mengalah juga, ia tidak pergi, ia
duduk di sofa dekat tempatku duduk. Ia menemaniku sampai pulang. Ia bahkan
mengantarku sampai sekolah, tempat supir ku menunggu, menurut Syifa banyak
preman dan pemabuk berkeliaran diseputaran rumahnya. Ia takut aku kenapa-napa.
Enrico juga ikut menemaniku. Yudis langsung pulang, menurut Syifa, rumah Yudis
tak begitu jauh dari rumah Enrico. Beberapa kali mata kami bertemu saat Enrico
–dan Syifa- mengantarku pulang. Wajah Enrico langsung memerah saat ia ketahuan
melihatku, ia langsung menunduk. Bahkan ia sempat hampir jatuh karema tak
melihat kedepan. Ada-ada saja.
Sudah seminggu sejak kami kerja kelompok, Enrico tak masuk sekolah. Hingga pada
hari senin, ia masuk sekolah. Kali ini aku tak menginginkannya pergi lagi dari
gengamanku. Dengan bekal satu buah hape bercamera yang sudah usang –dan
sebenarnya dilarang membawa ke Sekolah- aku membuntuti Enrico. Ia pulang
cepat,seperti biasa. Jelas ia tak pulang langsung kerumahnya, karena arahnya
jelas berlawanan. Ia pulang bersama Mat dan satu orang pria yang tak ku kenal
lainnya. Aku memakai masker dan membuntuti mereka dari jarak aman. Mereka duduk
di sebuah halte kecil tak begitu jauh dari sekolah. Samar-samar ku lihat Enrico
mengeluarkan sesuatu dari tasnya,Rokok. Oh Tuhan, ia perokok? Ku ambil beberapa
photo yang menggambarkan ia sedang merokok.
Ia pergi lagi, lagi dari tempat itu menuju tempat yang
aneh, di tempat itu banyak ban truk bertumpuk-tumpuk, sampah berserakan
disana-sini. beberapa kali Mat,Enrico,dan temannya celingak-celinguk ke depan
belakang siapa tahu ada orang yang membuntuti mereka. Ku ambil beberapa foto
lagi. kemudian, Salah satu teman mereka yang memang sudah dari sekolah ikut
mengeluarkan sebuah kantung plastik berisi obat-obatan. Peluhku menetes. Oh
Tuhan jangan bilang itu…
***
Yusro mengeluarkan beberapa plastik ekstasi, aku terus melihat
kekiri dan kanan siapa tahu ada orang yang membuntuti kamu. Sejak tadi,
perasaanku tak enak. Seolah ada orang yang mengikutiku, tapi, setiapku lihat,
tak ada siapapun dibelakang. Kurasa ia adalah seorang yang sangat handal. Ku
teguk beberapa butir ekstasi. Mat dan Yusro berpesta Shabu di depan mataku,
tapi, aku tak mau ikut. Aku takut asapnya memicu asmaku kambuh. Tiba-tiba ada
bunyi kaleng jatuh Yusro segera memeriksa, tiada siapapun hanya kucing. Yusro
segera kembali. Tiba-tiba ada bunyi lagi.. kali ini, jelas itu bukan kucing.
Seorang gadis terlihat samar-samar. Ia menggunakan pakaian kotak-kotak yang
sama dengan sekolahku.. Ia pasti temanku, Yusro baru saja ingin berdiri dan
memukulnya ketika aku menyadari ia adalah orang yang sangat kucintai,Dea. Aku
segera berlari meninggalkan Mat.
“Biar aku.” Ujarku sambil
menangkap tangan Yusro yang baru saja ingin menampar pipi itu. Yusro yang masih
terpengaruh obat-obatan langsung kembali ke arah Mat.
“Urus dia.” Ujarnya, aku hanya mengacungkan kedua jempol ku.
“Ngapain lo disini? Cari mati?!?” Ujarku dingin.
“Iya. Kalau emang itu yang lo lakuin!” Jawabnya lantam. Ia tak
pernah terdengar seberani ini.
“sini,lo!” Ujarku sambil menarik pergelangan tangannya. Ia
meronta-ronta, walau dipengaruhi obat, aku tetap saja lebih kuat darinya. Aku
menariknya ke halte tempat tadi aku,Yusro,dan Mat bertransaksi.
“Dea, lo ngapain.” aku
mengangkat dagunya, hingga mata kami benar-benar bersinggungan. Ia
menghempaskan tanganku. “Maaf.” Ujarku singkat.
“dari mana lo tau gue Dea?” tanyanya.
“entahlah. Tapi, pas ngeliat lo, gue tau itu lo. Mungkin karena lo
anak baru kali. Karena, kalau lo anak lama kenapa lo ga ngelakuin dari dulu.”
Ujarku panjang lebar.
“Orang tua lo cerai?” Tanyanya cepat. tulangku patah. Ada bagian
dalam diri ini yang hancur. Otakku memutar ulang video saat-saat ayah dan ibu
bertengkar. Saat sebuah foto sang ibu dan seorang pria sedang bercumbu dibawah
sinar malam yang indah tapi menyakitkan. Tapi, aku tak menangis air mataku
kering. Aku membeli dua gelas air mineral dingin, satu kuberikan pada Dea
satunya kuminum hingga hanya tersisa setengah gelas. Yang kemudian kusiram
kekepalaku, hingga rambutku benar-benar basah. Sedotan Dea jatuh kelantai, aku
menawarkan mengambil sedotan baru, tapi ia menolak. Ia memecahkan ujung cup itu
dengan jempolnya. Dengan sekali tusukkan tutupnya terbuka, ia merobek semua
tutup itu hingga cup itu benar-benar mengeluarkan air. Aku kira ia ingin
meminumnya, tapi, kemudian iya berdiri. Menundukkan kepalanya dan menyiram
rambutnya hingga basah. Kemudian ia menyiram sisanya kekepalaku. Saat itu ia tampak
seperti berandalan.
“dari mana kau tahu hal itu?” Tanyaku.
“ajak aku kerumahmu. Aku akan jelaskan.” dengan berat aku
mengajaknya kerumahku.
“Kita sama. Orang tua ku bercerai, dulu aku sama seperti mu. Aku
meneguk pil itu juga. Aku pernah masuk panti rehab. Orang tua ku malu setengah
mati, hingga ia mengirimku ke Jakarta. Bahkan, awalnya ayah ingin mengirimku ke
panti asuhan. Tapi, ibu bersikeras ingin merawatku. Dijakarta aku tinggal
bersama ibu. Ibu menyangi ku, ia jadi freelance. Ia juga jualan kosmetik
dirumah. Jadi, ibu bisa mengawasiku. Tiap kesekolah aku diantar pamanku naik
mobilnya. Jadi, jangan kira aku anak orang kaya.” matanya mulai berkaca-kaca.
Jelas sekali ia menahan air mata.
“Aku.. menyesal.. tapi.”
“Kak Enrico!” Suara renyah Syifa mengagetkan aku dan Dea. Dea
menahan pembicaraan kami.
“ekhem.. ekhem..” Syifa mengejek kami,
“diam, masuk kamar sana!” aku mengusir Syifa.
“eh cie yang kelas delapan. Yang udah main cewek.. hahahaha” Syifa
tertawa.
“Udah ambil minum aja sono!” perintah ku pada Syifa. Syifa tidak
mengambil minum, ia masuk kekamarnya. Sambil mengulang kata ‘cie’ andai....
***
“hm, Enrico.. kamu disitu?” Ujarku sambil medadah didepan mata
Enrico. Iya sama sekali tidak berkedip.
“Hah? Iya.. Apa? Sorry..” Ujarnya terbata.
“You look so nerd.. hahahaha” Dea tertawa.
“have a boyfriend?” tanyanya.
“nanya-nanya Bukan urusan sih,yee” Aku menjulurkan lidahku. Aku baru
saja ingin melanjutkan ceritaku, saat hape ku berdering.
“hallo? Ya, ma Iya, ini aku. Bilang supir jemput dirumah temen aku
yang kemarin belajar kelompok ya? Iya.Ga jauh kok dari sekolah. Iya,ma,iya.”
“siapa?” Tanya Enrico.
“mama, bentar lagi jemput.” Jawabku riang.
“yah, “ Suara Enrico terdengar lesu.
“kenapa,lo?”
“ga papa, iseng aja.. hahahaha” matanya tampak berbohong. Enrico“ga
papa, iseng aja.. hahahaha” matanya tampak berbohong. Enrico, lagi-lagi...
“hahahaha, sekali pembohong tetap pembohong,ya,Ric? Susah berubah..
Berubah gih, sebelum menyesal.” Sindirku
***
Dea menyindirku dengan pedas. Tapi, jujur
aku tak tau apa maksudnya, mungkinkah ia tau aku mencintainya? Aku belum sempat
bertanya maksud omongannya saat sebuah klakson berbunyi didepan rumah. Mobil
itu datang.
“gue pulang dulu,ya,Ric. Hati-hati..”
“harusnya gue yang ngomong gitu. Kan elo yang mau pulang.” jawabku
terkekeh.
“Aku bisa jaga diri, kamu yang harus berhati-hati” Aku tercengang
mendengar omongannya. Aku tak sempat menanyakan apapun. Roh ku baru kembali
sesaat setelah mobil itu menghilang dari hadapanku. Dea, andai aku punya sedikit
keberanian untuk mengutarakan perasaanku padamu..
***
Aku baru saja meninggalkan rumah Enrico, aku
berdoa agar ia diberkati anugerah keselamatan yang berlimpah. Agar ia keluar
dari lingkaran setan itu, dan agar ia bisa segera sembuh. Agar ia tak lebih
jauh melangkah, dan agar ia tahu bagaimana aku mencintainya. Andai..
***
Sudah seminggu ini Enrico masuk sekolah
tanpa kenal bolos. Aku sangat senang melihat kemauannya yang pesat, semoga
iblis tak mengikutinya lagi. Tiap malam aku memandang foto-fotonya yang kuambil
waktu itu dengan hape usangku ini.
Hari itu, hari senin pertama untuk kepala
sekolah SMP yang baru. Berbeda dengan pendahulunya, kepala sekolah yang satu
ini dikenal disiplin. Hingga suatu ketika, ada penertiban kelas. Setiap kelas
diperiksa mendadak disela-sela jam pelajaran. Setiap tas digeledah, banyak
barang aneh ditemukan , mulai dari Hape camera yang paling banyak, Rokok,Korek
api, VCD bf, majalah playboy, make up, pil, empeng bayi, dan lainnya.
Yang paling aku bingungkan, mengapa ada empeng bayi di tas seorang anak SMP?
mereka masih waras kan. HP ku juga ikut kena hari ini. Jelas aku degdegan.
Foto-foto Enrico waktu itu memang sudah ku hapus. Tapi, salah satu fotonya yang
sedang memegang rokok masih ada disitu. Bahkan ku jadikan screen saver. Tamatlah
riwayatku.
“maaf,” Ujarku saat aku dan Enrico dipanggil
keruangan kepala sekolah. Enrico tidak membawa apapun saat itu, jadi, jelas dia
di panggil karena guru-guru melihat fotonya mengisap batang sigaret itu dengan
pengnhayatan.
“ini bukan salah kamu,Dea. Ini masalah aku.”
Jawabnya tulus. Aku tak tega melihatnya sedih, seolah salah satu bagian tubuh
ku rontok. Oh my god!
“kamu merokok?” tanya sang kepala sekolah.
“sudah berhenti.”
“ayah tau?”
“pastinya.”
lanjutnya, “pastinya saya sudah mati kalau ketahuan.” Jawab Enrico
santai.
“Enrico, Serius! “ Aku
memukul bahunya pelan. Ia terkikik
“kalian pacaran?” tanya
guru itu sinis. Aku menggeleng cepat, tapi Enrico malah menyudutkanku.
“segera,bu.” Jawabnya
santai. Disekolah ini ada aturan dilarang pacaran.
“ga lucu,sumpah.” Aku
menatapnya kejam, kemudian menatap kepala sekolah kami lagi.
“berhati-hatilah.”
Ujarnya, ia memanggil murid lainnya. Aku dan Enrico keluar meninggalkan
ruangannya yang dingin itu
***
Hari ini, harusnya aku nembak kamu,Dea.
Tapi, itu cuma angan-angan yang toh, tak pernah terbawa oleh angin yang tertiup
menerbangkan anganku. Pantai itu begitu dingin. Bulu romaku berdiri, seolah
menghinaku yang tak pernah punya cukup keberanian untuk menyatakan rasa ini
pada Dea. Hari ini sabtu sore yang indah di Ancol, aku sedang menemani Syifa
bermain pasir. Syifa sangat ingin kepantai, tapi, Syica sudah berjanji bermain ice
skating bersama teman-temannya. Ayah ada meeting di Bandung dan baru
pulang besok. Dan, aku adalah satu-satunya orang yang tidak suka melihat air
mata Syifa mengenangi pipi cantiknya yang sangat ku sayangi itu. Tadi, Dea
tidak masuk. Aku dibuat uring-uringan oleh itu. Tapi, aku ingat perkataannya
saat ia terakhir datang kerumahku, ‘aku bisa menjaga diriku sendiri’ kalimat
itu menjadi penopangku untuk merasa amat walau tak bisa melihatnya sampai Senin
depan. Tapi, rasa rindu membelenggu menusuk jantung ini. Syifa masih asyik
bermain air saat aku menggeledah tasnya, mencari suatu benda yang bisa
membuatku terbebas dari racun menggenaskan ini -Rindu. Benda itu adalah
Handphone. Aku mengambil Hapeku untuk mengecek no Dea, aku tak punya cukup
pulsa untuk menelpon Dea. Tapi, Syifa pasti punya. Pulsanya masih dua puluh
ribu lagi. Apalagi Syifa dan Dea satu operator. Pasti tak terlalu mahal.
***
Aku baru saja kembali
dari Toilet saat hape mungilku berbunyi. Nomornya tidak kukenal. Tapi, aku
tetap mengangkatnya.
“Halo.” Suara Parau
Enrico menghambur dari seberang.
“Enrico? Ada apa,ya?” Tanya ku tak mau berbasa-basi. Tiba-tiba sakit
perut yang kurasakan dari semalam hilang. Perutku berhenti bergejolak. Kini
hatiku yang bergejolak tak kenal berhenti. Apa ia sadar yang terjadi padaku?
Apa ini? Beri aku jawaban! Aku frustasi berat saat mengangkat telepon dari
Enrico. Aku masih asyik membayangkan wajah tampannya. Kulit kuning langsatnya
dengan model rambut acak-acakan seperti pemeran utama komik tersohor,Shinichi
Kudo. Senyum yang menghambur dari bibir tipisnyaa! Argh! Perasaanku ikut
terbang kelangit secepat roller coaster.
“Dea, kamu masih disitu?” Enrico bertanya dari seberang sana.
“iya, kenapa nelpon? Senin enggak ada ulangankan?”
“Ulangan? Senin? Mana aku tahu. Kamu kan tahu aku jarang dengerin
guru nerangin dikelas.”
“Kebiasaan,lo,Ric.” Ujarku geram.
“Sebenernya aku nelpon kamu karena..” Enrico menggantung ucapannya.
“Karena apa?” Tanyaku tak sabar.
“Karena aku kangen kamu.” Astaga Tuhan! Itu kata yang sudah kutunggu
sejak pertama kali aku bertemu dengan Enrico. Darahku seolah berhenti mengalir,
Rohku seorang terbang kelangit ketujuh. Hidungku seolah berhenti mengeluarkan
Karbon diolsida dan menerima Oksigen. Aku mau mati!
“Gombal” Hanya itu kata yang keluar dari mulutku yang tersumbat oleh
pipi-pipiku yang merah padam. Dalam hati aku menyumpahi diriku sendiri.
Harusnya aku bilang aku juga merasakan hal yang sama agar ia sadar. Tapi, aku
memang terlalu bodoh untuk merasakan hal ini. Cinta.
“aku enggak bohong,Dea.
Kamu lihat aja mata aku.” Ujar Enrico bersungguh-sungguh. Enrico, kamu tahu ga
kalau aku juga enggak bohong. Aku juga sayang banget sama kamu. Tapi, sekali
lagi hanya kalimat bodoh yang mengalir dari mulutku ini.
“Kan, bohong banget. Gimana caranya aku lihat. Aku aja ga tau kamu
dimana?” Aku tertawa dibuat-buat. Dalam hati, sekali lagi, aku menyumpahi
diriku sendiri!
****
Hari senin yang indah disebuah bulan Juni. Hari ini, hari pertama
kami ulangan kenaikan kelas (UKK). Aku tak melihat tanda-tanda Enrico masuk. 15
menit lagi bel berbunyi, aku berlari kearah toilet didekat gudang, tempat
paling aman untuk bertelpon. Ku pencet nomor Enrico, hanya seorang gadis
operator yang menyahut. Ku telpon kerumahnya, tak ada yang menggangkat. Langkah
terakhir,Syifa. Nomor Syifa adalah nomor yang dipakai Enrico saat ia menelpon
hari sabtu saat aku tak masuk waktu itu. Diangkat!
“Hallo,Syifa?” Tanyaku.
“Iya,kak. Ini kak Dea,ya? Ada apa,kak?” Syifa bertanya dengan riang.
“Iya, ini Dea. Enriconya ada,Dek?” Tanyaku tanpa basa-basi.
“Kak, Enrico? Loh bukannya kesekolah. Tadi pagi pas aku mau
berangkat, kak Enrico udah berangkat duluan. Katanya karena ulangan, makanya
berangkatnya cepet. “ Tak ada satuhal pun terdengar ditutup-tutupi oleh Syifa.
“Oke,dek. Mungkin Enrico masih di canteen kali,ya. Ya udah makasih
ya.” Aku mematikan telpon sebelum Syifa berkata apapun lagi. Aku mulai panik.
Aku naik lagi ke atas, aku baru saja mendaratkan pantatku dibangku saat bel
berbunyi. Enrico belum datang. Tapi, sepersekian detik kemudian Enrico datang.
Untung pengawas belum datang. Kalau tidak.. Mungkin ia tak diizinkan masuk.
Bangku Enrico hanya tepat dua bangku dibelakangku. Aku melangkah kea rah
mejanya. Pura-pura meminjam rautan pensil. Tapi, aku punya maksud lain dibalik.
“Dari mana,Ric? Kok telat.”
“Iya,nih. Tadi, aku bangun kesiangan.” Jawabannya cepat, ia tak
tampak gugup. Pasti jawabannya sudah disiapkan sebelumnya. Karena jelas
jawabannya berbeda 180° dari jawaban Syifa. Aku mulai curiga.
Aku baru saja duduk
dibangkuku, saat miss Shela sampai dikelas. Untung aku sudah lebih dulu duduk
sebelum ia datang. Kalau ia duluan masuk, guru kiler itu tak akan membiarkan ku
duduk sampai waktu ulangan berakhir.
Waktu Sembilan puluh
menit untuk mengerjakan soal baru saja dimulai, tapi, tak jarang aku sekilas
melirik ke arah Enrico. Memastikan tidak terjadi hal buruk padanya. Tapi,
tampaknya aku salah. Keringat sebesar gigi jagung membasahi tubuhnya,khususnya
wajahnya. Matanya tampak lebih merah dari tadi pagi. Jelas sekali ia tidak
tidur. Tapi, satu hal, ia tetap t
enang.
Aku sadar, dia telah kembali kesitu. Bahkan,mungkin, lebih parah.
Bel istirahat baru saja
berbunyi. Ada waktu senggang sekitar 30 menit, untukku melahap sarapanku yang
belum kulirik dan membaca buku IPS-ku. Dan, ada satu hal yang tidak dilakukan
oleh teman-temanku. Hal khusus. Memperhatikan Enrico.
“Ngapain,lo?” Tanya Chintya saat aku sedang memandang dengan serius Enrico yang
sedan melahap sate-sate tusukan pertusukan.
“Enggak apa-apa.” Aku mencoba menutupi wajahku
yang mulai memerah. Tapi, Chintya memang tidak terlalu pintar dalam hal
akademik. Tapi, membohongi Chintya jelas bukan hal mudah.
“jangan mudah terbuai sama berandalan. Lo harus tau, sekali berandalan tetap
berandalan, sulit untuk mengubah itu,De. Itu hukum alam.” Ujar Chintya seolah
membaca pikiranku.
“Tapi, dia sudah berubah.” Jawabku tak yakin.
“Kalau dia udah berubah, harusnya lo yakin. Lo
jangan bohongin perasaan lo.” Aku tak bisa mengelak lagi. Chintya memang benar.
Salah satu bagian hatiku berkata Enrico telah kembali kelembah itu. awalnya
hanya satu bagian hatiku yang mengatakannya, namun lama-lama semua bagian
menurutinya. Hingga akhirnya, seluruh bagian hatiku didominasi oleh hal yang
menggoyahkan kepercayaanku kepadanya.
“Tapi,Chin” Chintya menjulurkan tangannya tanda
berhenti. Aku tahu, Chintya ingin naik kelas. Jadi, ia lebih mementingkan
belajar dari pada membahas hal tak penting macam Enrico denganku. Akhirnya aku
mengalah, ikut belajar.
***
Pulang sekolah. Aku kembali mengikuti Enrico.
Tapi, aku baru sampai diperempatan saat Enrico mendapatiku membuntutinya.
Enrico menyuruh Mat dan temannya pergi duluan. Ia berbalik dan mendapatiku
dibalik tiang listrik lagi pura-pura foto-foto sendiri bak autis.
“eh,ada cewek autis.” Ia memukul lemah bahuku,
hapeku hampir saja jatuh.
“ada apa?” tanyaku.
“kok lo yang nanya, harusnya gue yang nanya!”
Enrico sudah kehabisan basa-basinya. Mungkin hal itu sudah keburu basi beberapa
detik yang lalu.
“aku, ga kenapa-napa.” Jawabku seadanya,
“Lo jangan bohong.” Aku tahu, Enrico sedang
tidak good mood. Sudah lama sekali Enrico menggunakan kata elo-gue. tadi pagi
saja ia masih menggunakan aku kamu.
“cukup basa-basinya. Chintya benar sekali
berandalan akan jadi berandalan selamanya. Dan, gue rasa tanpa perpisahan ortu
lo, lo tetap akan ngelakuin ini,kan?” aku memalingkan mukaku ke langit.
Kemudian membuang liur ke selokan yang ada dibelakangku.
“Basa-basi? Basa-basi apa,Dea? Ngelakuin ini?
Ini apa?” Enrico memasang tampang lugu. Tapi, jelas saja aku tak bisa
dikelabui. Lagi. Cicak ngadalin kadal.. Mana bisa! Hape ku berdering. Alarm
menunjukkan ini sudah pukul dua siang. Saatnya les.
“Maaf, aku harus les dulu. Lain waktu kita
lanjutkan pembicaraan ini lagi. Kalau bisa.” Tawa nyinyir menyeringai dari
mulut mungilku itu. Tawa yang terakhir kukeluarkan saat aku masih sama seperti
Enrico. Berandalan. Sampah jalanan.
Aku baru saja melempar kaki ku kejalanan saat..
***
Aku menggapai tangan mungil milik Dea. Ia tampak
kaget. Ia berusaha melepaskan tanganku. Tapi, tubuh dan tenaga ku jelas lebih
kuat darinya. Aku menyeretnya ke rumah ku. Aku butuh penjelasan dari mulutnya.
Langsung!
“Gue
musti les. Biadab.” kata-kata itu meluncur dari mulutnya yang kukagumi itu.
“Siniin Hape lo!” Seruku. Ia tak memberikan. Ku
ambil tasnya yang mungil bewarna hijau-biru dengan tulisan Go to New World-nya
itu. Tepat seperti dugaan ku. Hape mungilnya diletakkan di sleting depan
tasnya.
“ngapain lo?” Tanya Dea saat aku memegang
hapenya dan memencet beberapa tombol di Hp itu.
“nelpon siapa?” Tanya-nya Tanpa menahanku saat
aku menaruh HP itu ditelingaku. Aku mengabaikannya sampai sebuah suara
menghambur dari seberang sana.
“Hallo tante, Iya, ini Enrico. Ia tante. Enrico
sehat. Dea? Ini lagi nulis. Iya, tan. Kok tante tau. PRnya banyak banget. Tadi
Deanya udah bilang dia ada les. Makanya ini aja dia ga berani nelpon tante,
takut kena marah katanya. Makanya aku yang disuru nelpon. Iya, makasih ya,Tan.
Ntar aku telpon lagi. Iya, sama-sama” ‘klik’ aku mematikan telponnya. Ujung
rambut Dea masih kelihatan. Ia pasti mengambil minuman-dan makanan- sendiri.
“udah kayak rumah sendiri, rumah gue dia bikin.
Padahal ini baru ketiga kalinya dia kesini...”
“Udah minumnya?” Tanyaku sesaat setelah dia
kembali dengan segelas besar syrup marquisa dan beberapa potong lapis surabaya
yang baru saja dibeli ayah.
“udah nelponnya. Lo sama aja.” Ujarnya sambil
mencomot sepotong lapis Surabaya.
“udah. Sama aja? Sama apaan?” tanyaku tak mengerti.
“sama kayak temen-temen arisan mama. Ngobrolnya
panjaaaaaaaaaaaaaaaangg!!” Dea terkikik geli. Aku terkikik pahit.
“gimana,ya? Mama lo baik banget sih. Nanya
gini.. ‘udah makan belum?’ ‘gimana ulangannya?’ ‘kamu sehat?’ banyak
banget pertanyaannya. Kuping gue sampai sakit..” Ujarku sambil pura-pura
memukul pelan daun telingaku.
“Makanya, kalau ngomong langsung to the point
aja. Bilang ‘Dea-nya ada kerja kelompok,Tan. Jadi, hari ini enggak bisa
les. Okeoke?’ matiin deh telponnya.”
“terserah lo. Deh.” Aku malas adu argument
dengan Dea. Aku sudah mengambil keputusan, beradu argument dengan seorang
wanita sama saja masuk ke perangkap yang melelahkan. Mengangguk adalah cara
terbaik untuk menaklukannya.
“Oh,ya,lo ngapain nyeret gue kesini?” Tanya Dea
sesaat setelah ia meneguk setengah gelas syrupnya itu.
“Oh,iya, gue lupa. Ngapain,ya?” Tanyaku
pura-pura lupa.
“don’t be liar!” Ujarnya.
“hahaha, Just kidding. Gue Cuma mau nanya
arti omongan lo tadi. “
“yang mana,yaa?” Dea pura-pura tidak tahu.
“yang tadi di dekat tiang listrik, yang tadi pas
lo foto-foto sendiri. Yang tadi pas lo berlagak autis. Yang tadi..”
“udah.. ga usah diterusin. Certain aja aib gue
terus!” Dea memotong cepat ucapanku.
“ya,udah. Kalau aibnya enggak mau diumbar.
Certain maksud lo tadi.” Ujarku tanpa basa-basi yang cukup berarti.
“lo make lagi,kan?” ujar Dea dengan
senyum sinis mengembang diwajahnya yang cantik itu. Dari mana dia tau?
***
“No.” jawabnya tegas. Tapi, ia masih asyik
memakan lapis Surabaya saat ia mengutakan itu. Mata cokelatnya itu tidak fokus
memandang ke arahku. Ia bohong.
“and a liar,liar,liar!” celotehku.
“you wanna do this anymore
you wanna be the reason why
Everytime you walk out the door
you see him die a little more inside
you don't wanna hurt him anymore
you don't wanna take away his life
youwanna be...A murderer” Aku menyanyikan lagu
se-pe-si-al untuk Enrico.
“Itu lagunya Rihanna,kan? So, apa hubungannya
sama gue?” Enrico tampak bingung.
“Unfaithful. Lagunya indah, tapi, artinya dalam.
Kalau enggak ada satu orang pun yang bisa lo percaya. Apa gue termasuk yang
enggak bisa lo percaya juga, Ric? Kita belum cukup kenal. Tapi, gue tahu lo.
Karena, gue ga bakal pernah tahu kapan saatnya saat yang mengatakan bahwa gue
udah cukup mengenal lo. Cuma waktu yang tahu kapan saat itu,Ric. Bahkan, walau
gue udah dikandung selama hampir sepuluh bulan. Gue enggak yakin kalau gue
benar-benar kenal sama mama gue.”
“tapi,Dea..”
“gue ga butuh tapi,Ric. Tinggal yes or no.
Kalau lo iya-in gue ga bakal merengek kayak bayi kurang ASI gini. Tapi, jelasin
kenapa.” ujarku setengah merengek.
“yes. Now, what?” Ucapan
Enrico mengagetkanku, ada petir yang menyambar. Bukan di langit. Didalam hati
ini. Lucu memang. Petir itu menyambar saat keadaan langit terang, dan mentari
dengan sigapnya menyinari setiap pelosok diri. Tapi, toh petir itu tak kunjung
berhenti. Petir itu kian sigap menyambar sampai daerah yang sebenarnya
terlindungi. Mulut ku terhenti, Ku pegang nadiku. Ia masih disitu, darahku
masih mengalir. Aku masih hidup. Tapi, kenyataan itu begitu pahit.
“why?” Akhirnya pertanyaan itu meluncur
juga dari mulutku. Pertanyaan yang sejak tadi mencengkram tubuh ku dengan
dashatnya. Ia meneguk sisa syrup marquisa ku.
“Papa,Dea. Papa..” Sesuatu yang warnanya bening
dan kuyakin hangat membasahi pipi Enrico. Ini pertama kalinya kaku melihat
seorang pria non balita menangis.
“Papa udah jarang pulang. Gue SMS ga dibalas.
Gue telpon enggak diangkat. Gue pernah ketemu orang yang mirip banget sama papa
di mall. Gue panggil berkali-kali dia ga jawab. Malah tambah pergi menjauh. Pas
gue mau datangin ketempat dia. Syifa pengen buru-buru pulang. Syifa ga liat apa
yang gue liat waktu itu. Dia terlalu senang dapat boneka Kucing baru yang dia
dambakan dari arena permainan.” Air mata mengucur deras perlahan dari matanya
yang indah itu. Ia mengambil sehelai tisu dan menyekanya dengan indah.
Pemandangan yang jarang kulihat. Aku ingin tersenyum melihat wajah tampannya
yang langka itu. Tapi, tersenyum sama saja mengejek hati yang sedang terluka.
Dan itu bisa berakibat fatal.
Ia belum selesai, “Dua malam yang lalu, gue
begadang, gue tungguin papa pulang dari kantor. Kata Syica papa lembur. Gue
tungguin terus tanpa lelah. Hampir jam tiga, papa pulang, gue papah papa sampai
kekamarnya. Dia ga sadar, dia terpengaruh alkohol. Jelas banget ia mabuk.”
“Klinmaksnya, pas Syica nginap dirumah temennya,
dan Syifa camp belum lama ini, sekitar pukul satu, papa pulang. Gue
belum tidur malam ini. Tapi, berbeda dengan malam pas papa mabuk, gue ga keluar
dari kamar, gue ngintip dari lubang kecil diatas pintu. Dia pulang sama seorang
cewek. Papa sama si jalang itu masuk ke kamar. Hati kecil gue pengen lihat,
tapi, gue mengurung niat itu. Sekitar pukul lima, sebelum gue bangun si cewek
itu udah pergi.” Aku terdiam mendengar hal mengejutkan itu.
“what shold I do?” tanyanya.
“do fun! Kita jalan-jalan kemana,kek..”
aku memberikan usul. Untuk mengubah hatinya yang buruk itu
“Ini ujian,Dea. Lo mau engga naik kelas?” tanya
Enrico. Tampak tertarik, ada cahaya terang yang menyinari hati ku
“enggak sekarang juga,Kali! Ntar! Sehabis
Ulangan kenaikan kelas, kita nginap di kepuluang seribu!” Dea antusias mengajak
Enrico.
“Berdua,Nih?” Tanya Enrico.
“Ngarep! Berempat lah! Bareng mama dan Syifa.
Kalau kak Syica mau ikut, boleh kok.” Mataku tampak berbinar-binar saking
antusiasnya.
“mana mungkin Syica mau. Okey deh, kalau gitu.
Gue packing dulu.” Enrico baru saja mau berjalan ketika pergelangannya
tangannya kuraih, tatapan mata kami bertemu sekilas. Kulepaskan tangannya.
“Masih minggu depan,woy!” Ia cengengesan
***
“why?” Akhirnya pertanyaan itu meluncur
juga dari mulutku. Pertanyaan yang sejak tadi mencengkram tubuh ku dengan
dashatnya. Ia meneguk sisa syrup marquisa ku.
“Papa,Dea. Papa..” Sesuatu yang warnanya bening
dan kuyakin hangat membasahi pipi Enrico. Ini pertama kalinya kaku melihat
seorang pria non balita menangis.
“Papa udah jarang pulang. Gue SMS ga dibalas.
Gue telpon enggak diangkat. Gue pernah ketemu orang yang mirip banget sama papa
di mall. Gue panggil berkali-kali dia ga jawab. Malah tambah pergi menjauh. Pas
gue mau datangin ketempat dia. Syifa pengen buru-buru pulang. Syifa ga liat apa
yang gue liat waktu itu. Dia terlalu senang dapat boneka Kucing baru yang dia
dambakan dari arena permainan.” Air mata mengucur deras perlahan dari matanya
yang indah itu. Ia mengambil sehelai tisu dan menyekanya dengan indah.
Pemandangan yang jarang kulihat. Aku ingin tersenyum melihat wajah tampannya
yang langka itu. Tapi, tersenyum sama saja mengejek hati yang sedang terluka.
Dan itu bisa berakibat fatal.
Ia belum selesai, “Dua malam yang lalu, gue
begadang, gue tungguin papa pulang dari kantor. Kata Syica papa lembur. Gue
tungguin terus tanpa lelah. Hampir jam tiga, papa pulang, gue papah papa sampai
kekamarnya. Dia ga sadar, dia terpengaruh alkohol. Jelas banget ia mabuk.”
“Klinmaksnya, pas Syica nginap dirumah temennya,
dan Syifa camp belum lama ini, sekitar pukul satu, papa pulang. Gue
belum tidur malam ini. Tapi, berbeda dengan malam pas papa mabuk, gue ga keluar
dari kamar, gue ngintip dari lubang kecil diatas pintu. Dia pulang sama seorang
cewek. Papa sama si jalang itu masuk ke kamar. Hati kecil gue pengen lihat,
tapi, gue mengurung niat itu. Sekitar pukul lima, sebelum gue bangun si cewek
itu udah pergi.” Aku terdiam mendengar hal mengejutkan itu.
“what shold I do?” tanyanya.
“do fun! Kita jalan-jalan kemana,kek..”
aku memberikan usul. Untuk mengubah hatinya yang buruk itu
“Ini ujian,Dea. Lo mau engga naik kelas?” tanya
Enrico. Tampak tertarik, ada cahaya terang yang menyinari hati ku
“enggak sekarang juga,Kali! Ntar! Sehabis
Ulangan kenaikan kelas, kita nginap di kepuluang seribu!” Dea antusias mengajak
Enrico.
“Berdua,Nih?” Tanya Enrico cengengesan.
“Ngarep! Berempat lah! Bareng mama dan Syifa.
Kalau kak Syica mau ikut, boleh kok.” Mataku tampak berbinar-binar saking
antusiasnya.
“mana mungkin Syica mau. Okey deh, kalau gitu.
Gue packing dulu.” Enrico baru saja mau berjalan ketika pergelangannya
tangannya kuraih, tatapan mata kami bertemu sekilas. Kulepaskan tangannya.
“Masih minggu depan,woy!” Ia cengengesan lagi.
lanjutku, “dasar autis”
***
Ini hari terakhir ulangan kenaikan kelas. Tiba-
tiba, pikiranku berpikir hal-hal aneh. Enrico tak masuk hari ini.
“positive,thinking!” aku menyumpahi diri sendiri karena telah
memikirkan hal negatiive dan membuatku tak bisa fokus menjawab soal-soal
ulangan yang ada didepan mataku.
“shit!” lagi-lagi aku menyumpahi diri
sendiri.
***
Sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Enrico.
Jujur, perasaanku sangat tak tenang. Aku memencet beberapa kali bel rumah itu.
Hingga akhirnya gadis kecil itu keluar. Syifa.
“Enriconya ada,Syif?” tanyaku.
“Kakak belum tahu,ya?”
“Tahu apa?”
***
“Iya, kemaren tempat itu digrebek. Yusro dan Mat
ditangkep pas lagi sakau! Gue ga terlalu jago lari, jadi gue kena juga. Pas air
seni gue dites. Positive. Kayaknya gue harus di rehab disini beberapa lama
deh,Dea. Maaf ya gue selama ini udah ngerepotin lo. Cuma lo sama Syifa yang care
sama gue.” Dia menyapu matanya dengan tisu yang tak jauh dari situ.
“Mereka care dengan cara mereka,Ric!”
“Iya,”
“You
look so dumb right now
Standing outside my house
Trying to apologize
You’re so ugly when you cry
Please, just cut it out”
“nyanyi,lo?” Enrico terkekeh.
“Minum! Puas!” Aku terkekeh mendengarnya. Enrico
tertawa.
“And
I hate how much I love you girl
I can't stand how much I need you
And I hate how much I love you girl
But I just can't let you go
But I hate that I love you so”
“And I love that I hate you so” Jawabku mantab.
“Kemarin, Syica dan papa marahin aku
bareng-bareng.” Enrico tampak sedih.
“Sabar,ya,Ric. Aku ga tau harus ngapain. Aku
masih mau cerita banyak sama kamu. Tapi, aku harus les dulu hari ini. Jaga diri
ya,Ric. Lain waktu aku pasti ke sini lagi.”
“Dea? Udah?” Mama memanggilku dari arah pintu
masuk Rehab bersama seorang suster.
“Iya, ma.” Ujarku.
“Dea love your self,be the best, and don’t be
melankolis girls!”
“Yup! I hold it! See you In kepulauan
Seribu,Sweet heart!” Enrico tertawa mendengar sapaan manisku untuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar