Senin, 08 Januari 2018

Tanaman Cantik



Tanaman Cantik

Nedya memasukkan sesuatu kearah kantong bajunya yang bewarna oranye kekuningan. Ia mengusap ingusnya yang sudah mulai memasuki mulutnya.
            “Nedya mau kemana?” Tanya mama bingung.
“Jalan-jalan.” Nedya pergi sambil mengacuhkan mamanya. Mamanya bingung. Adalah Kena seorang gadis desa yang sengaja dikirim jauh-jauh dari kota Apel, Malang. Hanya untuk menjaga Nedya yang kian hari kian aktif saja. Tingkah polahnya membuat siapapun ingin terkikik. Bahkan tergelak.
            Nedya menggali sebuah lobang dipekarangan rumahnya.
            “Non, jangan. Itukan kotor.” Ujar Kena sambil berusaha melepaskan tangan Nedya dari tanah. Tapi, Nedya bersikeras untuk menggali. Sampai akhirnya ibu dari anak itu menyuruh Kena untuk membiarkan Nedya melakukan apapun yang ia ingin lakukan. Tapi, tetap diperhatikan. Kena mengangguk. Mama Nedya masuk kedalam rumah dengan pintu putih yang berkesan elegan itu.
            “Non, sebenernya mau ngapain?” Tanya Kena penasaran pada gadis berumur lima tahun didepannya itu. Pipi tembemnya membuat Kena ingin mencubitnya tiap saat.
            “Bibi, galiin tanahnya yang dalem yaa.” Ujar Nedya polos sambil mengusap ingus,lagi.
“Buat apa,Non?” Tanya Kena bingung. Nedya tak menjawab ia hanya menggali. Akhirnya Kena kehabisan bahan pertanyaan ia melanjutkan untuk memabantu gadis kecil itu menggali.
            “Udah,Bi. Udah.” Ujar Nedya yakin. Ia mengambil sesuatu dari dalam sakunya yang tadi ia ambil.
            “Ini biji mangga,Bi. Kata ayah, kalau ini dimasukkan ketanah, nanti bias muncul pohon mangga yang besaaaar bangeeet..Jadi, Dya bias makan mangga tiap hari.” Nedya berceloteh riang. Kena tersenyum. Dua buah biji mangga dimasukkan kedalam dua liang yang berbeda. Dengan jarak hanya sekitar tiga puluh centi meter. Nedya tersenyum puas. Lalu pergi meninggalkan Kena.
            “Non, tunggu, lobangnya harus ditutup dulu, baru mangganya bisa tumbuh.” Ujar Kena lembut. Nedya kembali kearah Kena. Tanpa banyak tanya, ia menutup lubang itu dengan tanah disekitarnya. Lalu kena menggiring Nedya kesalah satu wastafel didekat taman dan menggendong anak itu. Lalu, membersihkan tangannya yang sudah penuh tanah.
            “Ken, tolong Nedyanya dimandikan,ya. Saya mau mengajak dia jalan-jalan.” Ujar mama Nedya yang muncul entah dari mana. Kena dengan gesit mengarahkan Nedya ke kamar mandi di kamar anak itu.
                                                ***
                        Keesokan harinya, sekitar pukul enam lewat dua puluh menit, Nedya menghambur kearah Taman. Lalu ia kembali lagi kearah ruang tamu dengan wajah kecut menemui ayahnya disana sedang menyesap kopi hitam kesukaanya.
            “Yah, Kok, mangganya ga tumbuh?” Tanya Nedya bingung sekaligus sedih.
“Nedya sayang, pohonnya ga begitu aja tumbuh. Perlu disiram dua kali sehari tiap pagi dan sore. Diberi pupuk secara berkala. Baru nanti pohonnya tumbuh dan buahnya bisa dimakan.” Ayah menjelaskan pada anaknya yang cantik itu. “Begitu,ya,yah?” ujar Nedya sedikit tak percaya.
“Sekarang bantu Kena menyiram bunga,gih.” Ujar ayah sambil menunjuk kearah Kena. Kena dengan senang hati membantu Nedya. Ia menyirami pohon mangga, bahkan tak jarang ia malah menyiram Kena atau bahkan dirinya sendiri. Ia sangat senang.
            Enam hari kemudian, Nedya dengan semangat menuju kearah ayahnya. Sambil membawa sebuah batang berakar. Wajahnya kecut.
            “Yah, pohon mangganya tumbuh nih. Tapi, ga ada buahnya” ujarnya sambil memberikan batang pohon itu pada ayahnya. Ayahnya melongo. Nyaris terkekeh.
            “Astaga,Nedya. Pohonnya kok dicabut?” Tanya ayah bingung.
“Abis ga berbuah,Yah.” Ujar Nedya sedih.
“Pohonnya baru berubuah nanti, kalau sudah besar. Minta sama Kena menanamnya lagi,gih.” Ujar ayah sambil menunjuk Kena yang sedang mengelap meja makan yang berantakan bukan main.
            Kena dengan sabar dan telaten menggali tanah dan memasukkan tanaman itu. Kena pulalah yang memanggil Nedya tiap pagi dan sore untuk menyiram tanaman itu. Kena tak pernah kehabisan akal jika tiba-tiba Nedya malas menyiram tanaman cantiknya itu.
            “Nanti kita jalan-jalan,Yuk,non. Tapi, siram dulu tanamannya.” Ujar Kena. Nedya akhirnya mengangguk mantab dan menyiramnya bersama Kena.
            Nedya pulalah yang merengek minta dibelikan pupuk oleh ayahnya untuk tanaman cantiknya itu. Kena sudah menghentikannya, tapi tetap saja esoknya Nedya merengek lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi.
            “Sudahlah, yah. Belikan saja pupuknya, salah ayah sendiri sih nyuruh-nyuruh anaknya nanam pohon segala.” Ujar ibu terkekeh. Akhirnya ayah mengangguk setuju dengan syarat Nedya berjanji akan menanam pohonnya sungguh-sungguh. Nedya setuju.
            Keesokan siangnya ayah mengajak Nedya ikut membeli pupuk. Tapi, karena Nedya ketiduran, jadilah Nedya tetap tinggal di mobil bersama Kena, sedangkan ayah dan ibu, turun untuk membeli pupuk.
            Sorenya, setelah Nedya bangun dari tidur, dengan semagat menggebu-gebu ia menanyakan kepada Kena mengenai pupuknya.
            “Pupuknya, ada sama ayah,Non. Kata tuan pemupukannya besok aja bareng sama Tuan. Tadi habis beli pupuk, tuan langsung pergi, katanya ada urusan.” Ujar Kena meyakinkan Nedya. Akhirnya Nedya memutuskan untuk menyiram pohon mangga yang kini hamper lewat dari lututnya. Lalu, mandi dan menonton kartun ditelevisi.
                                                ***
Keesokan harinya, seperti yang sudah dijanjikan, ayah membantu Nedya memupuki pohon mangga Nedya dengan pupuk Humus yang sudah mereka beli kemarin. Tadinya, Ayah ingin membeli pupuk kandang. Tapi, ibu malah marah dan berceloteh tanpa henti kalau anak mereka,Nedya, masih terlalu kecil untuk bergelut dengan kotoran hewan yang menjijikkan itu. Ditiap pagi dan sore Nedya tak pernah bosan-bosannya menyiram tanaman itu, tanpa perlu diiming-imingi hadiah oleh Kena. Hampir empat tahun sudah Nedya melakoni kebiasaanya itu. Kini pohon itu sudah setinggi lehernya. Nedya sudah mengalahkan kecerewatan ibunya. Nedya akan memarahi ayahnya kalau ayahnya lupa sehariii saja membeli pupuk.
            Hingga ayahnya tidak lagi membeli pupuk Humus.
“Nedya, ini pupuknya.” Ujar ayah. Nedya menyambut dengan mata berbinar. Gadis itu sudah bertambah tinggi drastis. Usianya sudah lewat dua bulan dari garis Sembilan tahun. Rambut panjangnya terjuntai kebawah tubuhnya sudah mulai kurus –setidaknya lebih kurus dari saat dulu ia menanam mangga. Kini Nedya berjuang sendirian mempertahankan dua pohon mangganya. Ibunya sangat ingin membumi hanguskan pohon itu karena merasa anaknya jadi sangat jorok akhir-akhir ini. Ayahnya sudah sangat sibuk sampai jarang bisa membelikan Nedya pupuk lagi. Kena sudah berhenti bekerja sejak dua tahun terakhir, ibu Kena sakit dan ia harus pulang kampung. Pembantu baru Nedya sangat tidak bisa diajak kerjasama. Orangnya malas ampun-ampunan. Kerjaanya hanya memoles wajah terus-terusan sampai penat.  Nedya lalu membuka bungkusan plastik itu. Bau  busuk menyeruak dari dalam.
            “ini apa,yah? Kok bau banget?” tanya Nedya bingung.
“Itu namanya pupuk kandang,Dya. Dapatnya dari kotoran binatang. Itu lebih bagus dari pupuk mu yang lama.” Ujar ayah menjelaskan. Nedya mau mati mencium bau busuk itu. Tapi, ia tetap tegar. Demi pohon mangga! Aku tak mau melepasnya! Tanaman cantik ini harus terus tumbuh. Begitulah kira-kira pendapat Nedya. Ia memakai sarung tangan yang sudah ayah beli sekalian ditoko pupuk. Memupuki tanaman itu. Sudah hamper dua tahun Nedya memakai pupuk Kandang. Kini ia sudah bisa menahan bau menusuk dari pupuk itu. Ia sudah terbiasa. Kini tanaman Nedya sudah tumbuh besar, cantik. Tanaman itu seolah menari-nari ditaman mungil milik keluar Nedya. Kini, Nedya punya alasan untuk bangun lebih pagi. Untuk terus mengurus tanaman cantiknya itu. Nedya meminta tolong pada mang ucup untuk membelikan Nedya cat kayu, dan memotong sebilah triplek yang sudah lama terkurung digudang bawah tanah.Nedya menulis dengan semangat menggebu-gebu. ‘mangifera indica. Agustus 2004.’ Kalimat singkat itu tertulis disebuah papan triplek didepan pohon itu.
            Februari 2012.
Tepat tujuh tahun enam bulan usia tanaman cantik itu. Bung-bunga mulai berhamburan mengotori taman. Ibu tak henti-hentinya marah. Tapi, dengan sigap Nedya menyapunya hingga bersih. Dua kali sehari. Peluh membasahi tubuhnya, tapi, ia tak peduli. Ia tetap konsisten. Hingga sebiah mangga dengan warna hijau kekuningan muncul. Cantik. Dua buah mangga Nedya ambil dari masing-masing pohon. Tapi, sebelum itu, Nedya meminta ayah mengambil sebuah gambar dengan latar belakang pohon mangga sambil ia memeluk mangga-mangga dengan wajah berseri. Satu buah untuk ayah. Satu untuk ibu. Dua untuk Nedya. Rasanya manis sekali. Sukacita menggelayut dihati Nedya. Senyumnya merekah.
            Foto Nedya bersama mangga-mangganya baru saja dicetak oleh ayah, dengan segera ia mengambil satu dari dua foto itu, lalu nulis sebuah surat singkat disana :
kepada Bi Kena di Malang. Bi! Lihat.. mangga Nedya sudah berubuah. Makasih ya bi atas dukungan bibi untuk mempertahankan tanaman ini. Maaf Nedya tdak dapat mengirim satu atau dua buah mangga untuk Bibi, Ayah bilang nanti busuk.
                                    Salam, Nedya.
Nedya menutup surat itu lalu memasukkanya keamplop putih itu.
Dua minggu kemudian, disebuah rumah kumuh di kota Apel,Malang. Kena tersenyum puas sambil membalik-balikan amplop itu. Rasa yang dirasakan Nedya terasa juga hingga Kena. Sukacita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VC 7 POSTTEST : MASALAH KONKURENS

a. Jelaskan 2 metode untuk menjamin SERIALIZABILITY b. Pada Metode Locking  untuk transaksi terus menahan suatu kunci sampai dilepaskan s...