Tanaman Cantik
Nedya memasukkan sesuatu kearah kantong bajunya yang
bewarna oranye kekuningan. Ia mengusap ingusnya yang sudah mulai memasuki
mulutnya.
“Nedya
mau kemana?” Tanya mama bingung.
“Jalan-jalan.” Nedya pergi sambil mengacuhkan mamanya.
Mamanya bingung. Adalah Kena seorang gadis desa yang sengaja dikirim jauh-jauh
dari kota Apel, Malang. Hanya untuk menjaga Nedya yang kian hari kian aktif
saja. Tingkah polahnya membuat siapapun ingin terkikik. Bahkan tergelak.
Nedya
menggali sebuah lobang dipekarangan rumahnya.
“Non,
jangan. Itukan kotor.” Ujar Kena sambil berusaha melepaskan tangan Nedya dari
tanah. Tapi, Nedya bersikeras untuk menggali. Sampai akhirnya ibu dari anak itu
menyuruh Kena untuk membiarkan Nedya melakukan apapun yang ia ingin lakukan.
Tapi, tetap diperhatikan. Kena mengangguk. Mama Nedya masuk kedalam rumah
dengan pintu putih yang berkesan elegan itu.
“Non,
sebenernya mau ngapain?” Tanya Kena penasaran pada gadis berumur lima tahun
didepannya itu. Pipi tembemnya membuat Kena ingin mencubitnya tiap saat.
“Bibi,
galiin tanahnya yang dalem yaa.” Ujar Nedya polos sambil mengusap ingus,lagi.
“Buat apa,Non?” Tanya Kena bingung. Nedya tak menjawab ia
hanya menggali. Akhirnya Kena kehabisan bahan pertanyaan ia melanjutkan untuk
memabantu gadis kecil itu menggali.
“Udah,Bi.
Udah.” Ujar Nedya yakin. Ia mengambil sesuatu dari dalam sakunya yang tadi ia
ambil.
“Ini
biji mangga,Bi. Kata ayah, kalau ini dimasukkan ketanah, nanti bias muncul
pohon mangga yang besaaaar bangeeet..Jadi, Dya bias makan mangga tiap hari.”
Nedya berceloteh riang. Kena tersenyum. Dua buah biji mangga dimasukkan kedalam
dua liang yang berbeda. Dengan jarak hanya sekitar tiga puluh centi meter.
Nedya tersenyum puas. Lalu pergi meninggalkan Kena.
“Non,
tunggu, lobangnya harus ditutup dulu, baru mangganya bisa tumbuh.” Ujar Kena
lembut. Nedya kembali kearah Kena. Tanpa banyak tanya, ia menutup lubang itu
dengan tanah disekitarnya. Lalu kena menggiring Nedya kesalah satu wastafel
didekat taman dan menggendong anak itu. Lalu, membersihkan tangannya yang sudah
penuh tanah.
“Ken,
tolong Nedyanya dimandikan,ya. Saya mau mengajak dia jalan-jalan.” Ujar mama
Nedya yang muncul entah dari mana. Kena dengan gesit mengarahkan Nedya ke kamar
mandi di kamar anak itu.
***
Keesokan
harinya, sekitar pukul enam lewat dua puluh menit, Nedya menghambur kearah
Taman. Lalu ia kembali lagi kearah ruang tamu dengan wajah kecut menemui
ayahnya disana sedang menyesap kopi hitam kesukaanya.
“Yah,
Kok, mangganya ga tumbuh?” Tanya Nedya bingung sekaligus sedih.
“Nedya sayang, pohonnya ga begitu aja tumbuh.
Perlu disiram dua kali sehari tiap pagi dan sore. Diberi pupuk secara berkala.
Baru nanti pohonnya tumbuh dan buahnya bisa dimakan.” Ayah menjelaskan pada
anaknya yang cantik itu. “Begitu,ya,yah?” ujar Nedya sedikit tak percaya.
“Sekarang bantu Kena menyiram bunga,gih.” Ujar
ayah sambil menunjuk kearah Kena. Kena dengan senang hati membantu Nedya. Ia
menyirami pohon mangga, bahkan tak jarang ia malah menyiram Kena atau bahkan
dirinya sendiri. Ia sangat senang.
Enam
hari kemudian, Nedya dengan semangat menuju kearah ayahnya. Sambil membawa
sebuah batang berakar. Wajahnya kecut.
“Yah,
pohon mangganya tumbuh nih. Tapi, ga ada buahnya” ujarnya sambil memberikan
batang pohon itu pada ayahnya. Ayahnya melongo. Nyaris terkekeh.
“Astaga,Nedya.
Pohonnya kok dicabut?” Tanya ayah bingung.
“Abis ga berbuah,Yah.” Ujar Nedya sedih.
“Pohonnya baru berubuah nanti, kalau sudah
besar. Minta sama Kena menanamnya lagi,gih.” Ujar ayah sambil menunjuk Kena
yang sedang mengelap meja makan yang berantakan bukan main.
Kena
dengan sabar dan telaten menggali tanah dan memasukkan tanaman itu. Kena
pulalah yang memanggil Nedya tiap pagi dan sore untuk menyiram tanaman itu.
Kena tak pernah kehabisan akal jika tiba-tiba Nedya malas menyiram tanaman
cantiknya itu.
“Nanti
kita jalan-jalan,Yuk,non. Tapi, siram dulu tanamannya.” Ujar Kena. Nedya
akhirnya mengangguk mantab dan menyiramnya bersama Kena.
Nedya
pulalah yang merengek minta dibelikan pupuk oleh ayahnya untuk tanaman
cantiknya itu. Kena sudah menghentikannya, tapi tetap saja esoknya Nedya
merengek lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi.
“Sudahlah,
yah. Belikan saja pupuknya, salah ayah sendiri sih nyuruh-nyuruh anaknya nanam
pohon segala.” Ujar ibu terkekeh. Akhirnya ayah mengangguk setuju dengan syarat
Nedya berjanji akan menanam pohonnya sungguh-sungguh. Nedya setuju.
Keesokan
siangnya ayah mengajak Nedya ikut membeli pupuk. Tapi, karena Nedya ketiduran,
jadilah Nedya tetap tinggal di mobil bersama Kena, sedangkan ayah dan ibu,
turun untuk membeli pupuk.
Sorenya,
setelah Nedya bangun dari tidur, dengan semagat menggebu-gebu ia menanyakan
kepada Kena mengenai pupuknya.
“Pupuknya,
ada sama ayah,Non. Kata tuan pemupukannya besok aja bareng sama Tuan. Tadi
habis beli pupuk, tuan langsung pergi, katanya ada urusan.” Ujar Kena
meyakinkan Nedya. Akhirnya Nedya memutuskan untuk menyiram pohon
mangga yang kini hamper lewat dari lututnya. Lalu, mandi dan menonton kartun
ditelevisi.
***
Keesokan harinya, seperti yang sudah dijanjikan,
ayah membantu Nedya memupuki pohon mangga Nedya dengan pupuk Humus yang sudah
mereka beli kemarin. Tadinya, Ayah ingin membeli pupuk kandang. Tapi, ibu malah
marah dan berceloteh tanpa henti kalau anak mereka,Nedya, masih terlalu kecil
untuk bergelut dengan kotoran hewan yang menjijikkan itu. Ditiap pagi dan sore
Nedya tak pernah bosan-bosannya menyiram tanaman itu, tanpa perlu
diiming-imingi hadiah oleh Kena. Hampir empat tahun sudah Nedya melakoni
kebiasaanya itu. Kini pohon itu sudah setinggi lehernya. Nedya sudah
mengalahkan kecerewatan ibunya. Nedya akan memarahi ayahnya kalau ayahnya lupa
sehariii saja membeli pupuk.
Hingga
ayahnya tidak lagi membeli pupuk Humus.
“Nedya, ini pupuknya.” Ujar ayah. Nedya
menyambut dengan mata berbinar. Gadis itu sudah bertambah tinggi drastis.
Usianya sudah lewat dua bulan dari garis Sembilan tahun. Rambut panjangnya
terjuntai kebawah tubuhnya sudah mulai kurus –setidaknya lebih kurus dari saat
dulu ia menanam mangga. Kini Nedya berjuang sendirian mempertahankan dua pohon
mangganya. Ibunya sangat ingin membumi hanguskan pohon itu karena merasa
anaknya jadi sangat jorok akhir-akhir ini. Ayahnya sudah sangat sibuk sampai
jarang bisa membelikan Nedya pupuk lagi. Kena sudah berhenti bekerja sejak dua
tahun terakhir, ibu Kena sakit dan ia harus pulang kampung. Pembantu baru Nedya
sangat tidak bisa diajak kerjasama. Orangnya malas ampun-ampunan. Kerjaanya
hanya memoles wajah terus-terusan sampai penat. Nedya lalu membuka
bungkusan plastik itu. Bau busuk menyeruak dari dalam.
“ini
apa,yah? Kok bau banget?” tanya Nedya bingung.
“Itu namanya pupuk kandang,Dya. Dapatnya dari
kotoran binatang. Itu lebih bagus dari pupuk mu yang lama.” Ujar ayah
menjelaskan. Nedya mau mati mencium bau busuk itu. Tapi, ia tetap tegar. Demi
pohon mangga! Aku tak mau melepasnya! Tanaman cantik ini harus terus tumbuh. Begitulah
kira-kira pendapat Nedya. Ia memakai sarung tangan yang sudah ayah beli
sekalian ditoko pupuk. Memupuki tanaman itu. Sudah hamper dua tahun Nedya
memakai pupuk Kandang. Kini ia sudah bisa menahan bau menusuk dari pupuk itu.
Ia sudah terbiasa. Kini tanaman Nedya sudah tumbuh besar, cantik. Tanaman itu
seolah menari-nari ditaman mungil milik keluar Nedya. Kini, Nedya punya alasan
untuk bangun lebih pagi. Untuk terus mengurus tanaman cantiknya itu. Nedya
meminta tolong pada mang ucup untuk membelikan Nedya cat kayu, dan memotong
sebilah triplek yang sudah lama terkurung digudang bawah tanah.Nedya menulis
dengan semangat menggebu-gebu. ‘mangifera indica. Agustus 2004.’ Kalimat
singkat itu tertulis disebuah papan triplek didepan pohon itu.
Februari
2012.
Tepat tujuh tahun enam bulan usia tanaman cantik
itu. Bung-bunga mulai berhamburan mengotori taman. Ibu tak henti-hentinya
marah. Tapi, dengan sigap Nedya menyapunya hingga bersih. Dua kali sehari.
Peluh membasahi tubuhnya, tapi, ia tak peduli. Ia tetap konsisten. Hingga
sebiah mangga dengan warna hijau kekuningan muncul. Cantik. Dua buah mangga
Nedya ambil dari masing-masing pohon. Tapi, sebelum itu, Nedya meminta ayah
mengambil sebuah gambar dengan latar belakang pohon mangga sambil ia memeluk
mangga-mangga dengan wajah berseri. Satu buah untuk ayah. Satu untuk ibu. Dua
untuk Nedya. Rasanya manis sekali. Sukacita menggelayut dihati Nedya. Senyumnya
merekah.
Foto
Nedya bersama mangga-mangganya baru saja dicetak oleh ayah, dengan segera ia
mengambil satu dari dua foto itu, lalu nulis sebuah surat singkat disana :
‘kepada Bi Kena di Malang. Bi! Lihat.. mangga
Nedya sudah berubuah. Makasih ya bi atas dukungan bibi untuk mempertahankan
tanaman ini. Maaf Nedya tdak dapat mengirim satu atau dua buah mangga untuk
Bibi, Ayah bilang nanti busuk.
Salam,
Nedya.
Nedya menutup surat itu lalu memasukkanya
keamplop putih itu.
Dua minggu kemudian, disebuah rumah kumuh di
kota Apel,Malang. Kena tersenyum puas sambil membalik-balikan amplop itu. Rasa
yang dirasakan Nedya terasa juga hingga Kena. Sukacita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar