st*r!
1.
Namanya aliysia sugianto, usia 15 tahun.
Tinggi 165 cm, kelas 1 SMA di sebuah SMAN di tebet. Punya sahabat namanya
Sonia. Cita-cita jadi novelis terkenal. Takut diketawain. Dulu senang dance dan
basket. Tapi, sesuatu hal membuatku menjauhi dua hal tersebut..sejak
mama-papanya Icha cerai, Icha tinggal bareng mamanya disebuah komplek perumahan
di daerah Tebet. Icha suka ngomong tapi palaing malas ngomongin dirinya
sendiri. banyak hal yang berkecambuk dipikiran Icha, tapi tak satupun menjadi
kenyataan. Hanya mimpi,begitulah Icha berkomentar tentang mimpi-mimpi gilanya
itu! Andai Icha punya sedikit keberanian for makes her dreams come true..
Icha punya satu cowok namanya Leo, kita LDR-an. Leo tinggal di Makassar. Tapi,
udah 6 bulan kita ga saling kontak. Leo kamu kemana? aku kangen kamu.. aku
sayang banget sama kamu. peri yang cantik dan baik.. sampaikan salam Icha untuk
Leo yang ada di negri nun jauh disana ya…
--
Hari ini, lagi, Icha
harus bangun pagi untuk kesekolah.
“ma, udah lah, aku ga usah sekolah lagi!”
“ga sekolah?!? mau jadi apa kamu nanti?”
mama senewen sendiri
“ya abis gimana? sekolahnya horror!”
Ujarku sambil tersenyum menampakkan gigi taringku yang ukurannya lumayan, yah
kau tau? besar!
“horror? horror gimana?” mama tak
menghiraukan gigi ku yang terbilang besar itu.
“ya.. horror.. ya gitu.. masa mama
ga tau sih?”
“gurunya makan kamu?” aku menggeleng.
“temen kamu perutnya bolong?” aku
menggeleng
“tukang kantinnya suka ngesot?” aku
menggeleng lebih keras
“kepala sekolah kamu gigi taringnya lebih
gede dari kamu?”
“iiiih!! mama! jangan bawa-bawa gigi!
sensitive nih!! Ya maksud aku horrornya ga kayak di film! ini horror
yang.. benar-benar horror!”
“aduh,cha! mama capek! mama masih mau
kerja! kamu sekolah aja sana! semester depan kamu pindah sekolah! puas!”
“banget mah!”
aku pergi meninggalkan
mama dengan persaan sumringah. akhirnya bisa juga pindah..
sesampainya disekolah. Aku sadar apa yang
selama ini kutakuti dari sekolah ini. Aku takut ditertawakan saat aku bernyanyi
dengan suaraku yang tidak lebih indah dari bebek yang terkena serangan jantung.
Aku juga takut dan Iri melihat temanku yang diantar oleh kedua orang tunya
dengan kendaraan pribadi! Mengapa orang tuaku -maksudku mama- tak membeli
kendaraan pribadi. motor kek. apa kek. Dan terlebih.. mengapa mama dan papa
harus berpisah? Tuhaaan!
akhirnya aku melangkahkan kaki ku dengan
gontai hingga sampailah dikelasku. aku duduk disana dengan perasaan sepi.
Teringat masa-masa saat papa dan mama masih bersatu dan kemi berlibur ke Lombok
atau Singapura dulu.. Rindu rasanya. Teringat pula saat mama dan papa
bertengkar. Kala itu aku tak tahu karena apa. Tapi, sekarang aku sudah tahu.
Cap Lipstick, Parfum peremupan, Lembur, Keluar kota dan segala hal yang
tak masuk diakal diucapkan papa. Hingga akhirnya dia datang.. iya.. dia.. orang
yang sangat kubenci! usianya bahkan hanya 10 tahun lebih tua dari ku! Namanya,
nama yang sangat tidak ingin kusebut.. Muti! tapi aku lebih suka memanggilnya
dengan kata-kata hujatan! seperti semua benda berkaki empat yang ada di kebun binatang
atau di hutan rimba sana! Atau memanggilnya dengan segala hal yang kau temui
saat sakit perut! Atau apalah.. Dia datang dengan seorang bayi yang jujur sama
sekali tidak lucu! Dia bilang bayinya lelaki. Lalu mengapa bedongnya warna
pink? kurasa si Kambing Bekicot Muti itu ingin anaknya menjadi lelaki yang suka
mampir di taman lawang! Jujur, aku sangat jijik melihatnya! Kalau kau tanya
bagaimana tampangnya saat itu... aku akan menjawab..
“MPOK ATIEK BAHKAN LEBIH CANTIK DAN
MULUS!”
matanya jelek seperti kelelawar. Kau tau?
matanya sangat besar!! Seolah ingin menerkam.. Tubuhnya sangat kurus! Aku
curiga dia akan terbang bila terkena angin kencang! Giginya besar-besar!
Rambutnya hampir gimbal tak terurus. Hanya lebih bagus sedikit. Jujur, walau
saat itu usiaku masih 11 tahun, Aku meludahi muka anaknya -jangan ditiru
dirumah- Dan sontak si lelaki biadab yang tidak pantas di panggil ayah itu
memarahi ku. JIJIK!
“MATILAH KAU!! LIHAT PEMBALASAN KU
NANTI!!!!!!” pekik ku. dia bahkan ingin memukul ku dengan ikat pinggangnya yang
sangat besar.
“SETAN! KELUARLAH!” pekikan kali ini lebih
keras! bahkan aku menyertakan ayat kursi didalamnya!
“kamu yang setan!” si wanita yang enggan
kusebutkan namanya itu menyumpahi ku.
“TAK ADA SATU MANUSIA PUN YANG MEMBAWA
TUYUL KERUMAH KU! PERGI KALIAN! SAMPAH!” kali ini emosi mama sudah memuncak.
Baru kali ini aku melihat mama semarah itu!
“kau mengusir ku?” si lelaki biadap itu
bicara dengan percaya dirinya.
“iya. mengapa kau tak suka?!”
“aku masih suami mu! dan apa hak mu mengusirku!”
“ini rumahku! warisan orang tua ku! dan
mulai hari ini kau KUPECAT DENGAN TIDAK TERHORMAT sebagai DIREKTUR di
PERUSAHAAN AYAHKU!”
“tapi aku masih suami mu!”
dengan sigap mama memencet HPnya dan
menekan nomor antah barantah. seseorang disana mengangkat, suaranya berat,
seperti suara lelaki. Mama mesangan loudsspeaker agar semua orang di ruangan
itu dengar.
“IYA ,PAK! SAYA IGIN MELAYANGKAN GUGATAN
CERAI PADA SUAMI SAYA/”
“ALASANNYA BU?”
“DIA SELINGKUH DAN SUDAH MENIKAH LAGI.”
“BAIK BU, HARI INI JUGA SAYA KERUMAH IBU
MEMINTA KONFIRMASI YA.”
“YA SAYA TUNGGU!”
tet. telpon itu terputus.
“puas kamu?”
“dasar wanita kurang ajar!”
“kurang ajar mana sama kamu? kurang ajar
mana sama wanita jalang dan laknat ini? hah!”
“heh! bodoh! kalau kamu meminta cerai dari
ku sama saja kamu membiarkan anakmmu anak perempuan mu ini tidak punya kasih
sayang dari figur seorang ayah!”
“lebih baik begitu! dari pada ia ketularan
laknat seperti wanita ini!”
“biarin lisya ga punya ayah dari pada
punya mama dua dan satunya tante girang!”
“kurang ajar kamu bilang istriku tante
girang? mama mu yang tante girang!”
“ah! maca? kalau mama ku tante girang kok
kamu ga mau di ceraikan? kok kamu masih ada disini?” aku yang saat itu masih
berumur 11 tahun pun tak segan memarahinya. Mau durhaka kek mau apa kek!
bodoamat lah
‘pak’ sebuah tamparan terkena tepat di
pipiku. Entah apa, atau kenapa. Tak ada rasa sakit apapun disitu, sudah mati
rasa. Kurasa. Tak ada satupatah kata pun yang mampu ku alirkan dari bibirku
ini. Hanya ada kebencian,kebencian,kebencian,dan kebencian
“MATILAH KAU LAKNAT”
aku sama sekali tak tau
apa arti kata laknat. Tapi, mendengarnya saja sudah membuatku cukup tahu kalau
kata-kata itu sebenarnya tidak cukup sopan untuk diucapkan. Tapi, kalau aku
jadi ibu, kurasa aku tetap akan mengucapkan hal yang sama.. Kurasa.
Aku tak mau berkata apa-apa lagi, tak mau
mendengar apapun lagi. Hanya satu hal yang ingin kulakukan.. Pergi.
Air mata menetes
disetiap langkah yang kulalui. Terdengar suara ibu samar-sama memanggilku. Tak
ku hiraukan, tak ada rasa sakit di hati ini. seperti yang tadi ku bilang, sudah
mati rasa. Mereka terus bertengkar dan bertengkar, aku berlari sampai ke lantai
dua, kamar. Kubenamkan wajahku di tumpukan bantal.
hanya itu yang kuingat jika ada seseorang
yang bertanya tentang dia. Aku sendiri tak tau mengapa aku bisa lupa
tentangnya. Antara tak mau tahu dan memang benar-benar lupa.
2. “apakabar,cha? Kamu
sehat?”
Tiba-tiba saja sebuah
SMS masuk ke HPku. Dari nomor yang tidak kukenal. Siapa? Sejenak kubaca
pesan itu. Lagi.
Aku bertanya-tanya dalam hati. Siapa sih
yang ngirim SMS tanpa pengirim gini?
“ma, mama tau enggak ini nomor HP-nya
siapa?” tanyaku pada mama.
“ga tau nak. Engga ada di daftar kontak
mama nih.” Ujar mama sembari mengecek nomor-nomor yang tertera dihapenya.
Akhirnya setelah
mengumpulkan keberanian akupun mengirim SMS pada si orang tanpa nama ini.
“ini siapa?” Aku pun memencet tombol send.
Tiba-tiba saja seperti ada serangan diperutku ini. Aku meninggalkan HPku diatas
tempat tidur dan berlari menuju kamar mandi.
15 menit telah berlalu. Aku mengecek HPku
lagi. Belum ada balasan. Ah,sudahlah untuk apa aku memikirkan SMS macam ini?
Paling hanya salah satu temanku yang iseng.
Malam itu, aku memilih mendaratkan tubuh
ku ke atas spring bedku yang empuk dan terlelap disana.
Pagi itu..
Sebuah alarm berbunyi di kamar Icha.
Beberapa kali berbunyi. Tapi, tak satu orang pun yang menyahut. Mama yang geram
mendengar bunyi alarm itu segera beranjak dari meja makan ke kamar Icha.
“kemana sih anak itu? udah jam enam tiga
puluh belum ada tanda-tanda kehidupan juga.” Mama menaiki anak tangga dengan
derap langkah yang cepat karena amarah yang berapi-api.
“cha,icha! Bangun! Hey! Sudah siang!”
gerutu mama sambil mengetuki pintu yang kian hari ini kian keras. Tapi, sekeras
apapun mama mengetuk pintu tetap tak ada jawaban dari putri semata wayangnya
itu. kali ini kesabaran mama sudah habis. Wanita paruh baya itu menerobos masuk
ke kamar putrinya itu dan menemui Icha sudah terbujur tak bergerak disitu.
“Icha.. kamu kenapa?” tanya mama bingung
sambil menggoyang-goyang tubuh Icha yang masih belum menunjukan tanda-tanda
kehidupan.
“cha, Icha!!” mama kali ini meraung-raung
“Icha.. astagfirullah.. tubuh kamu
panas banget cha! Kamu kenapa?” mama segera mengeluarkan hapenya yang ia
letakkan di kantung bajunya.
“halo dokter.. iya ini saya bu Lina… ini
dok,anak saya Icha badannya panas bukan main. Bisa dokter kesini?? Iya..iya..
masih di rumah yang dulu di tebet timur. Iya dok, saya tunggu ya.” Ujar mama
tersipu-sipu seolah tak sempat mengambil napas sedikit pun.
Sekitar 30 menit
kemudian. dr. Rangga, dokter langganan keluarga kami, dr. yang tadi mama telpon
sampai. Ia memeriksa tubuh ku. Memukul pelan perutku.
“oh, ini gapapa kok bu. Cuma mag dan demam
aja.” Jawab dokter itu santai.
“terus kenapa tadi anak saya kayak sesak
napas?”
“oh, itu paling mau flu. AC-nya
kalau bisa dimatikan,ya,bu.” Ujarnya sambil melirik kearah AC yang ada
di sudut kiri kamarku.
“oh,iya,baik dok.”jawab mama lembut.
Dokter Rangga pun
memberikan mama secarik kertas berisi daftar obat yang harus mama tebus di
apotik. Tak berapa lama, mama pun datang membawa mangkuk, yang –kurasa—berisi
makanan.
“ini, makan dulu buburnya ya. Mama mau ke
apotik situ dulu.” Jawab mama sambil menyodorkan mangkuk berisi bubur ayam
instant padaku. Aku mencoba duduk dari posisiku yang memang sejak tadi terkulai
diatas kasur. Aku memakan bubur itu sesendok demi sesendok sambil sesekali
meniup bubur yang panas itu.
Sekitar tiga puluh menit
kemudian, mama datang membawa beberapa obat. Kurasa ada
antibiotic,paracetamol,dan CTM di dalamnya. Oh Tuhan. Mengapa aku harus
sakit? Bukankah hari ini aku ada ulangan fisika yang super rumit itu? bukankah
hari ini juga ada pelajaran akutansi yang kusukai yang hanya hadir satu kali
dalam seminggu? Aku boleh sakit, kapanpun asal jangan di hari rabu yang indah
ini..
Mungkin, hari terbaik
untuk sakit adalah selasa. Di hari selasa buku-buku terasa berat untuk
diangkat, karena kedua pelajaran dengan buku setebal 250 halaman – ipa dan
bahasa Indonesia – ada dihari selasa. Di hari selasa juga ada pelajaran
olahraga yang sangat tidak kusukai karena aku sangat tidak menguasai pelajaran
itu. apalagi basket, uh, tidak lagi. Lompat,lari,dan segala hal tentang basket
seolah memenjarakanku. Beda halnya dengan putri yang jago main basket, ikut
ekskul basket, dan menjuarai berbagai turnamen basket tingkat SMA. Andai aku
bisa seperti dia, sayang dia sangat sombong. Beberapa kali aku minta diajari
main basket tapi dia selalu berkata “tidak ada waktu” memang apa yang dia
lakukan selain belajar sepertiku? Voli lagi.. saat aku harus memukul bola bulat
itu serasa tiba-tiba ada yang meraih tanganku dan menghentikannya. Aku jadi
tidak bisa memukul bola besar itu, bedahalnya dengan Melti, anak itu memang
lebih buruk dariku dalam hal akademik. Tapi, kalau olahraga.. jangan ditanya!
Dia jago sekali. Angka 9 sangat sering dia dapat. Apalagi pada saat voli.
Mungkin, kalau saja aku hanya tidak bisa berolahraga aku cukup sabar. Tapi,
satu hal, mengapa teman-temanku menertawakan kegagalanku? Are they perfect?
I think.. NO! lalu apa? Mereka ingin membuatku minder. Mereka bahkan
tidak mengerti rasa sakit yang sudah kurasakan selama ini. Kurasa, perpisahan
kedua orang tuaku dan ekonomi keluarga kami yang paspasan sudah cukup
membelenggu leher ini. Tak perlulah mereka menambahi masalah hidup ini.
“cha! Woy! Nape
lu?” tiba-tiba ada suara yang membuyarkan lamunanku. Sonia rupanya.
“hah? Sonia? Kamu kok bisa ada disini?”
tanyaku tak percaya
“udah pulang.” Jawabnya acuh tak acuh
“loh ini kan masih..”
“jam sebelas? Guru-guru rapat. Biasaaa..”
potongnya cepat.
“oh.. ”
“oh,ya,cha. Lo takut diketawain kan?”
tanya Sonia cepat. Pertanyaan yang membuatku kaget.
“maksudnya?”
“iya, maksud gue, kalau lo ga bisa
melakukan sesuatu. Trus lo diketawain kayak ada bagian diri lo yang rontok
kan?”
“mm,”
“udahlah, ngaku aje. Kayak kita baru kenal
aja. Dari zaman lo ingusan sampe zaman lo jadian sama si Leo kunyuk itu, sampai
sekarang gue udah kenal lo kan?”
“sst..”
“oh iya, lo sama dia backstreet ya?
Udahlah nyokab lo udah pergi. Tadi begitu nyokab lo liat gue dateng dia nitipin
lo sama gue. katanya paling jam 3 udah pulang. Ntar jam dua juga tukang cuci lo
dateng. Lo udah gede dititip titipin sama gue. dikira gue penitipan anak kali
ya? Kenapa lo ga ditaro di playgroup depan komplek aje?”
Aku tertawa.pahit.
“oh iya, laptop lo mana?”
“itu.” jawabku sambil menunjuk kearah laci
meja yang ada disebelah tempat tidurku.
“eh,nih,HP lo. Ada sms masuk. Dari
nomor tidak dikenal.”
“apa isinya?” tanyaku jawabku lemah.
“kok ga dibalas sms ku semalam?” Sonia
membacakan SMS yang masuk HPku itu.
“belakangnya berapa?”
“34.”
“ooh. Itu sih. Coba kamu save deh,Son.
Simpen aja namanya ‘GHOST’”
“hah? Hantu ngeri amat!?!” Sonia
mendelik
“udah. Cepet.”
Sonia lalu meraih laptopku yang masih ada
di laci meja kecil itu. lalu menghidupkannya dan asyik mengklik aneka tombol di
laptop mungil itu, sambil sesekali mengklik BBnya
“ada wifii kan dirumah lo?”
“kalau udah dibayar sih ada.” Jawabku sambil
nyengir.
“nah ini dia dapat.”
“Tentu tak ada orang
yang ingin jadi bahan olok-olok. Namun, bila Anda selalu ketakutan akan
ditertawakan hingga kerap menghindar saat orang lain tengah bercanda, boleh
jadi Anda mengidap gelotophobia.
Takut berlebihan akan
ditertawakan orang lain termasuk dalam kelainan yang disebutgelotophobia. Kata
ini berasal dari bahasa Yunani, gelos, yang berarti tertawa, danphobos yang
artinya takut.
Fobia ini pertama kali
dibahas di Spanyol dalam acara International Summer School and Symposium on
Humour and Laughter: Theory, Research and Applicationss.
Baru-baru ini para
peneliti mencoba mengevaluasi rasa takut akan ditertawakan tersebut pada
berbagai budaya masyarakat. Para peneliti dari Universitas Zurich, Swiss,
bekerja sama dengan peneliti dari 73 negara menyebarkan kuesioner kepada 22.620
orang yang diterjemahkan dalam 42 bahasa untuk mencari tahu seperti apakah
kelainan gelotophobia.
Menurut para ahli, dalam
rasa takut ditertawakan, ada dua golongan alasan. Pertama, mereka yang takut
ditertawakan sebagai “reaksi perasaan tidak aman” yang mencoba menyembunyikan
rasa kurang pede-nya dari orang lain atau percaya bahwa tidak ada hal lucu yang
perlu ditertawakan.
Kedua, “reaksi
penghindaran”, yang selalu menghindari situasi serupa di tempat ia pernah
ditertawakan. Ketakutan orang dalam kelompok ini bisa berskala rendah hingga
tinggi. Mereka juga selalu dihantui curiga bahwa orang lain sedang
menertawakannya.
Meski gelotophobia bisa
ditemukan di semua budaya, ada beberapa perbedaan yang tampak. Misalnya saja,
orang dari negara Turkmenistan dan Kamboja rata-rata masuk dalam kelompok
pertama atau “reaksi rasa tidak nyaman”. Sementara itu, orang-orang di Irak,
Mesir, dan Jordania cenderung menghindari situasi yang membuat mereka akan ditertawakan.
Sementara itu, orang di
Finlandia percaya, bila orang lain sedang tertawa, mereka menertawakan dirinya.
Sebanyak 80 persen orang di Thailand juga punya kecurigaan yang sama.
“Orang menertawakan
orang lain karena beragam alasan. Hal ini bisa menimbulkan respons takut pada
seseorang sehingga ia selalu menghindari situasi yang mengarah pada candaan.
Hal ini tentu akan berdampak pada kehidupan sosialnya,” kata Victor Rubio,
psikolog dari Autonomous University, Madrid, Spanyol.”(dikutip dari web surat kabar
nasiolal)
“kamu dapat dari mana,Son??” tanyaku pada
Sonia.
“internet.. Biasa.. hahahaha” Sonia
tertawa bangga padaku, menampakkan pagar-pagar yang menaungi giginya itu.
“oh.. oh,ya behelmu ganti warna ya?” tanya
ku lugu
“begitulah. Ngomong-ngomong gue mau ke
belakang dulu ya.”
“ngapain?” tanyaku bingung.
“biasa.. makan.. sok lugu lo!”
Aku hanya geleng-geleng kepala melihat
tingkah Sonia yang memiliki prinsip ‘Tiada waktu tanpa makan.’
Sonia melenggang dengan santai. Tapi,
tunggu..
“Son, bentar deh. Kayaknya rok putih kamu
kook..”
“nape?”
“kamu dapet ya?” tanya ku bingung
“kaga ah…”
“trus itu?” Sonia berlari ke arah kaca
yang ada di dekat pintu kamarku.
“AAAAAAAA! Icha!! Oh my God!! Blood!!
Aah! Celana mana! Celana lo mana! Pembalut mana! Pembalut!” seru Sonia.
Seketika rumah yang sepi ini berubah jadi ramai bak pasar malam.
“nih pembalut 35 cm with wing punya mama
aku. Ini celana pendek ku, warna hitam supaya ga gampang jorok.”ujar ku sambil
menyodorkan pembalut berbukungkus plastic biru ukuran super dan celana pendek
ku yang sudah sering dipinjem sama Sonia.
“yee, celana nya ini mulu, ga ada yang
laen?”
Aku menggeleng cepat.
Sonia berlalu menuju kamar mandi yang ada dikamarku juga. Sekitar 5 menit
disana. Sonia keluar dengan celana yang kuberi pinjam tadi. Dan kaus merah yang
kurasa memang sudah dia bawa dari rumah.
“oh ya, cha. Tadi gue duduk di bed lo
emang ga tembus?” tanya Sonia sambil nyengir.
“engga. Kamu ngedudukin tas kamu sendiri..
hahahaha” seru ku sambil menunjukan tas putih Sonia yang sudah menjadi warna
putih merah seperti bendera Indonesia –atau seragam SD ya?- Sonia tertawa, tapi
bukan tertawa senang. Tapi tertawa kecut. Pukul 2 siang, mbak Inah, tukang cuci
rumah ku datang. Aku menyodorkan beberapa baju kotor, Sambil mengantar Sonia
kebawah. Mengambil makanan dan segelintir minuman.
“jangan sering-sering ke sini ya,Son.”
Ujar ku dengan ekspresi datar.
“kenapa?” tanya Sonia khawatir.
“bisa bangkrut aku.” Kami tertawa bersama
--
“oh,ya, cha. Leo apa
kabar?” tanya Sonia pagi itu sesampainya aku disekolah.
“ga tau! Dan ga mau tau!” jawabku ketus.
“lo sama Leo kenapa sih? Putus enggak.
Tapi, SMS-an ga pernah.”
“bukan ga pernah SMS-an,Son! kamusalah!
Tapi, dia yang ga pernah balas SMSku! tiap hari aku nge- SMS dia. Sampai
pulsaku cekak terus. kamu kira pulsa ku bisa abis gitu aja? Kamu kira tuyul
demen pulsa? Engga,Son! Engga! Aku cape,son.” Ucapku panas. Sambil menunjukan
daftar SMS yang menumpuk di hapeku.
“ga gentle banget sih,si Leo.” Gentian
Sonia yang senewen.
“entah lah.” Jawabku tak ingin memperbincangkan
Leo.Lagi.
Siang itu, jam istirahat aku dan Sonia
segera meluncur ke kantin.
“loh..loh..loh.. kok rame banget? Ga
biasa-biasanya nih kayak gini..” ujar ku bingung melihat kondisi kantin yang
sebegini ramainya.
“son, kamu bingung engga liat kondisi
kantin kita hari ini?” ujar ku sambil menoleh kea rah Sonia. Tapi.. tunggu
dulu. Mana anak itu? ku lihat sekeliling dan mendapati Sonia sedang antri di
warung jus mbak Mira. Udah ngibrit duluan,rupanya.
“eh,Son, larinya kok cepet banget? Aku
bingung tau nyariin kamu.”
“udah.. ntar aja. Lanjutin nyarinya. Nyari
siapa sih? Leo?”
“arrggh! Leo terus! Pusing nih kepalaku
dengar nama itu! jangan ucap lagi!”
“udah lah,Cha.. Lo mau pesen apa? Mumpung
kantin kita lagi obral.” Ujar Sonia antusias.
“obral?” aku melongo. Kantin kecil begini
bisa obral,toh. Kukira Cuma mall-mall besar yang ada disenayan yang harus ku
pikirkan 25 kali untuk membeli barang-barang di mall itu, walau itu barang
diskon sekalipun.
“iya.. lagi turun tuh. Khusus hari ini.
Dari yang harganya ceban. Jadi Cuma tujuh setengah… woow ga?”
“hah? Pantesan ramai. Ya udah kamu antri
aja deh. Aku udah bawa bekal,nih. Dari mamaku.” Ujarku sambil senyum menunjukan
lunch box kotak bergambar hello kitty itu..
“lawak,lo. Anak SMA lunch boxnya model
begini..” ujar Sonia sambil tertawa terbahak-bahak melihat Lunch box gambar
doraemonku.
“udahlah.. cape aku ngomong sama kamu. Aku
duduk dulu ya. Selama antri.” Ujar ku sambil melambai pada Sonia seolah putri
Indonesia.
“dasar anak itu.” desis ku setelah Sonia jauh
disana.
Sekitar delapan menit berlalu. Sonia
datang membawa nampan penuh berisi, nasi,fried chiken,juice alpukat,dan jamur
tiram.
“gimana bisa kurus,Son?” celetukku asal
“ya..abis gimana,non? Kan jarang-jarang.”
“mau obral ga obral sih kamu emang makan
terus kerjaannya..” ujarku sambil memakan roti yang mama sediakan untukku.
“emang kenyang segitu rotinya,Cha. Adik
gue aja si Gilbert 3 kali lipat dari itu porsinya.” Ujar Sonia senewen.
“pantes Gilbert melar..” kami tertawa
bersama.
Siang itu, sepulang sekolah..
Sesosok lelaki bertubuh tegap, dengan
tinggi sekitar 170 cm dan kumis tipisnya datang kesekolahku. Aku tak tau siapa
dia, Tapi, tiba-tiba saja jantungku berdetak cepat, bulu kudukku berdiri, dan
seolah otakku tiba-tiba berhenti.
“ICHA!” ujar sebuah suara yang
terdengar sangat parau. Icha menoleh, lelaki itu.. siapa dia?
“Icha.. Icha.. kamu apa kabar? Kok SMS ku
ga pernah dibalas?” tanyanya cepat yang membuat Icha bertanya-tanya. SMS? Dia
siapa? SMS apa? Icha bingung setengah mati. Tiba-tiba Sonia datang dari arah
pos satpam, dan melakukan hal yang sama seperti Icha. Bengong.
“hai.. Sonia. Udah lama ya kita ga
ketemu.” Ujar pria itu, PD kalau Sonia akan mengenalinya. Tapi, Sonia hanya
melongo.
“hai, kalian bingung ya.. masa kalian lupa
sih sama aku?” ujar pria itu sambil mengibaskan tangannya didepan wajah Sonia
dan Icha.
“hi, I’m Leo. Are you
forgotten about me?” tanya Leo polos.
“Leo? How are you,bro? lo tau! Dari
tadi.. kita ngomongin lo disekolah.. kangen setengah mampus tau..” ujar Sonia
riang.
“kita? Cuma lo,Son!” ujar Icha kasar.
Sonia tau temannya itu perasaannya sedang tidak bagus. Tidak biasanya Icha
memakai kata elo-gue dalam setiap kalimat yang dia lontarkan
Lanjutnya, “ayo pulang.”
Sambil menarik pergelangan tangan Sonia.
“yub. I’m fine. Tks. You don’t get too
proud,cha.” Ujar Leo datar.
“ntah lah. Aku sama sekali ga niat
rebut,Son. Kamu mau ikut aku pulang atau engga?” kali ini raut muka Icha
serius. Matanya mulai membesar dan lubang hidungnya kembangkempis. Tampak
sekali Icha sedang marah, hal yang paling tidak bisa ditutupi Icha.
“hmm, kamu duluan aja,deh,cha. Aku pingin
ngobrol bentar sama si Leo satu ini.” Ujar Sonia sambil nyengir. Icha melongo.
Dirumah..
“bingung banget kalau punya guru kayak bu
Mel. Baik sih baik. Cantik sih juga. Tapi kalau ngasih PR ga nanggung.. bikin
tangan mau copot.” Icha mengambil buku IPS nya dari dalam tas biru jeansnya
yang bertuliskan ‘PROUD TO BE ICHA!’ yang tak lain tak bukan adalah
oleh-oleh dari mamanya waktu ada kerjaan di negara tetangga,Singapura.
Setelah 20 dari 50 soal
yang diberikan oleh bu Mel ia kerjakan selesai, bel berbunyi,
“tumben mama pulang cepet.” Ujar Icha
sambil beranjak dari meja belajarnya.
Karena yakin itu mamanya, maka Icha sama
sekali tidak mengintip terlebih dahulu. Dan, ternyata dugaan Icha meleser.
Meleset jauh bahkan. Yang datang bukan mamanya, tapi sahabatnya yang telah
berkhianat. Dan lelaki yang menggantun statusnya. Leo dan Sonia.
“ngapain kesini?” tanya Icha dingin.
“main aja,cha. Kenapa sih,lo?” tanya Sonia
sok lugu
Tanpa dipersilahkan kedua orang itu masuk
kerumah 2 tingkat mode minimalis itu
“You don’t get too proud,cha.” Ujar
Leo. Lagi.
“Leo, gue udah coba sabar ya kemarin. So,
jangan pancing emosi gue. LAGI!” amarah Icha mulai tak tertahankan. seketika
ruangan itu menjadi panas. seolah ada api yang menyala disana
“maksud lo? Why me make you angry?”
tanya Leo tak mengerti.
“harus gitu gue jelasin.” Leo tak
menjawab. Tapi tatapan matanya seolah meminta penjelasan.
“okay. Pertama, lo
bilang gue ja-im? Apakah gue terlihat jaim? NO! and, gue butuh penjelasan
kemana lo enam bulan terakhir ini? Gue SMS apa lo balas? Gue telpon kenapa lo
tolak? JELASIN!” kali ini pitam Icha sudah memuncak. Ia tak bisa menahan
amarahnya lagi.
“Listen, sorry kalau gue bilang lo jaim
dan itu bikin lo tersinggung. Tapi, apa yang salah dengan kata jaim? Bukannya
masa SMP lo biasa aja kalau gue bilang gitu? Kenapa lo berubah? Apa perasaan lo
sehalus itu sekarang?” bertubi-tubi pertanyaan mengalir dari mulut Leo,
pertanyaan itu malah lebih mirip kecaman
“gue ga akan jawab pertanyaan lo sebelum
lo jawab pertanyaan gue!”
“okey, gue ganti nomr. Puas?”
“lo ganti nomor. Terus siapa yang matiin
telpon gue kalau bukan elo?”
“mana gue tau.”
“okey. but, kemana selama ini lo?”
“canberra. gue sekolah disana. Puas?”
“bukannya lo bilang lo ke Makassar?” kali
ini nada bicara Icha sudah mulai rendah.
“ya, gue memang pindah kesana. Tapi ga
sampai setahun, setengah tahun pun enggak. Cuma sekita 5 bulan. Bokap gue kena
serangan jantung! Dan, persediaan uang di Indonesia ga akan cukup kalau gue dan
nyokab gue terus-terusan maksa tetap tinggal di Makassar! ”
“Terus, kenapa lo ga ngirimin gue e-mail
lagi?”
“Sorry. Gue ga mau ngasih lo harapan
palsu, kalau gue terus ngirimin lo e-mail gue takut lo tetap berharap gue balik.
Gue bahkan benci sama diri gue sendiri yang membual sama orang yang paling gue
sayang. LO!”
“trus kenapa sekarang lo balik?”
pertanyaan Icha bahkan lebih mirip pernyataan.
“Gue ga nyangka bisa balik,Cha. plis
ngertiin gue. Kalau ga karena kak Ika, anak tante Bogor mau nikah ga mungkin
gue ke Indonesia lagi.”
“Acaranya di bogorkan? So, ngapain
lo ke JAKARTA?” nada suara Icha kembali tinggi.
“Gue cuma pingin memberikan yang lo mau!
Memperjelas status kita. Sekarang kita udah resmi bubar. So, lo bisa jadian sama
siapapun yang lo mau!”
tiba-tiba seperti ada
yang memukul punggu Icha, pelan-pelan lalu kencang kencang sekali. Hingga icha
merasa kehilangan keseimbangannya. Dan terhempas ke lantai, ada air yang
mengalir di pipinya. Ia menangis tersedu-sedu. Jelas Leo tak melihatnya. Leo
telah pergi beberapa detik lalu, meninggalkan Icha dan serpihan hatinya.
“Cha, lo kenapa? Lo nangis? Bukannya ini
yang lo mau? Kejelasan status lo?” tanya Sonia bingung.
Icha berdiri dari lantai
“iya,Son. gue emang nangis. Tapi, bukan
karena meratapi apapun. Gue bahkan seneng banget. Sekarang gue udah bebas”
ujarku sambil tersenyum pahit. dalam hati aku merintih. menangis histeris. aku
memang menginginkan kejelasan hubunganku dengan Leo. Tapi, yang kumau adalah
memperbaikinya bukan menghancurkannya.
“oh,ya,lo udah ngerjain tugasnya bu Mel
belum?” tanya Icha mengalihkan bahan pembicaraan.
“OH iya! Belum!” Sonia terlihat shock dan
langsung membuka tas donal bebeknya itu..
“liat dong caranya,Cha.” Sonia meraih buku
yang ada ditanganku dengan sigap.
“oh,iya,Son. Satu hal yang ga ku mengerti
dari kamu..”
“apa?” tanya Sonia masih sambil terus
memperhatikan jawaban-jawaban soal ku.
“memang PR IPS pake cara hah?” aku menarik
balik bukuku yang sudah dimonopoli oleh Sonia.
--
3. Sore keesokan harinya.
Saat Icha sedang
menyelesaikan soal terakhir PR bu Mel, sebuah suara berkumandang dari arah
depan
“kebiasaan banget sih Sonia. Ada bel
dikira Cuma buat pajangan kali,ya?” Icha mendengus kesal. Sambil menuju pagar.
“Bel tuh! Bukan Cuma buat pajangan.”
“suka-suka dund! Bell lo aja yang pengen
banget dipencet! “ ujar Sonia sambil menjulurkan lidahnya..
“hey, kamu inget ga siapa dia?” tanya
Sonia sambil menunjukan foto usang.
Hmm, Icha berpikir keras, mengingat foto
siapa yang ada didepan matanya.
“ARA!” seru Icha ceria.
“yub! And you know what? Are will come to
Jakarta!”
“yang bener lu,Son? Tau dari mana?” tanya
Icha tak percaya.
“dia ngirim e-mail ke gue. nih, liat
sendiri!” Sonia memperlihatkan e-mail yang ada di BBnya.
“Ara apa banget deh. Ngirim email ke elo.
Padahal kan dulu yang CSnya dia itu gue.” Icha senewen sendiri.
“hahahaha, katanya dia lo jarang banget
open e-mail. E-mailnya dia sebulan kemudian baru lo balas.”
“oh,ya,Son. Masuk yuk, ntar dikira lo
nagih utang lagi ngetem didepan rumah gue..”
“ah, ga usah, Cha. Gue Cuma pingin
ngabarin itu aja. Gue balik dulu ya.”
“tumben lo cepet balik, ga ngembat makanan
gue lagi?”
“diet.” Sonia berbalik pulang. Icha
melongo.
2 hari kemudian.
“hai, tan. Apa kabar?”
“sehat. Kamu gimana? Udah lama nih ga ke
Jakarta.”
“iya, tan. Abis di California aku
sibuk banget.”
“iya ,deh,yang udah jadi model. Kapan ya
anak tante itu jadi model kayak kamu. Di amrik lagi.”
“kalau dia agak susah tuh tan. Abis
gimana? Pemalu banget..”
“iya,tuh, sebenernya dia ketularan dari
mamanya.”
“dulu tante pemalu”
“iya, hahahaha.. sekarang engga ya?”
“sekarang? Pd banget malah..”
“hahahaha, kamu bisa aja. Ngomong-ngomong
kamu nginep di mana?”
“kalau ga di rumah Sonia paling di Hotel
situ,tan.”
“duh, rumahnya Sonia kan ramai banget. Di
sini aja, dari pada sewa hotel, mahal.”
“aku sih okeoke aja tan.”
“ya udah yuk..”
Ternyata Ara sudah
sampai di Jakarta. Dan memilih menyambangi rumah Icha dulu sebelum kerumah
Sonia. Sayang seribu sayang, Ichanya udah sekolah. Yang ada hanya tante cony
dirumah.
“untung aku ke rumah Icha. Kalau kerumah
Sonia.. bisa mati diri aku ketemu mamanya Sonia yang super jutek itu..”
Ara diantar kekamar tamu. Tante coni
–mamanya Icha- pergi meninggalkan Ara sendiri. Ada meeting katanya, Ara
sih okeoke aja –alias bodo amat-
Ara cukup senang
ditawari nginap disini oleh tante Coni. Paling tidak ara tidak perlu kelaparan
atau diam seperti kedelai dikamar jika dia tetap memilih menginap di rumah
Sonia. Dan, dia bisa memelih clutch lucu yang ada di mall yang udah dia taksir
dari beberapa hari lalu, karena uangnya tak jadi membayar biaya sewa hotel.
Walau dia model, Ara adalah tipe orang penghemat –atau pelit?- penghasilannya
yang hanya sekitar $900-US$1000 perbulan membuat dia harus memiliki
pikiran panjang untuk membeli sebuah barang. Walau penghasilannya cukup besar,
tapi banyak hal yang harus Ara bayar. Cicilan apartemen yang ada di kawasan
kuningan –dia bahkan ga mau beli apartemen di amrik karna alasan mahal-
,membayar sewa apartemen di California, bayar uang sekolah –sejak kedua
orang tuanya bercerai Ara menanggung sendiri biaya ini- di amrik yang jelas ga
murah. Dan, beberapa barang yang diincar di mall..
Ara benar-benar merasa
sumpek dirumah ini dan memilih internetan dengan fasilitas wifi yang tersedia.
“ntar jalan bareng Icha dan Sonia aja,ah.
Nambahin duit dikin gapapalah. Daripada nanti gue nyasar.”
Sekitar satu jam Ara stalking timeline
Sonia dan Icha tiba.
“hai, Girls.. gue udah kangen
banget sama kalian.. J”
“iya.. kita juga kok,ra.”
“temen kita yang model ini udah balik toh
dari California..” Sonia membuat gaya bicara sok cute layaknya anak
kecil.
Ara dan Icha tertawa
mendengar suara Sonia yang mengocok perut itu..
“Oh,iya,Son, pulang gih sana..” Ara
menggerak-gerakkan tangannya seolah mengusir Sonia.
“ngusir,nih..??” tanya Sonia sambil
menjulurkan bibir bawahnya sampai maju 50 meter –lebay-
“kalau udah memble tuh memble aja. Ga usah
ditambah tambah memblenya!” Ara senewen sendiri melihat kelakuan temannya yang
satu itu..
“gue ga ngusir lo kali,Son. Ntar kalau gue
ngusir lo siapa lagi yang ngejar jambret di bus kota?” mereka tertawa mengingat
masa SMP merah saat Sonia berlari dengan lincah mengejar penjambret yang
mengambil dompet Ara di suatu bus kota..
“Lo mah, aib temennya aja yang diungkit-ungkit!”
“udah cepet pulang, ganti baju, terus
balik lagi, bawa duit ya.. kita mau shopping!” ujar Ara santai.
“What? SHOPPING?!?!?” Sonia dan
Icha teriak hampir bersamaan.
“Cuma shopping bukan ngangkat mayat
kan? Kok heboh banget..” Ara terkekeh.
“tapi..” Sonia menggantung.
“ini… apa??” Ara menunjukan kertas-kertas
bertuliskan nominal yang tidak sedikit.. 200 ribu.. 500 ribu
“VOUCHER?”
Icha kaget setengah mati melihat belasan Voucher berkumpul ditangan temannya
itu. Ara hanya mengannguk
“temen kita ini tetap shopaholic sejati
ya…” Sonia dan Ara nyengir berbarengan.
Sekitar satu setengah
jam kemudian Ara,Icha,dan Sonia sampai disalah satu mall yang cukup terbilang
mahal. Bukan yang di tebet,kuningan,atau senayan. MOI! Mall of Indonesia..
“astaga, perasaan deket deh. Kok sampai
satu setengah jam gini?” Ara senewen ketika selesai menghitng waktu tempuh
mereka dari rumah Icha ke MOI.
“membelah kemacetan Jakarta bukan hal yang
mudah.” Icha terkekeh sendiri mendengar ucapannya.
Dua jam kemudian..
Ketiga murid yang masih
berpredikat ‘pejuang putih abu-abu’ itu terduduk di sebuah gerai eskrim asal
selandia baru dan menikmati eskrim disana.
“satu setengah jam membelah kemacetan. Dua
jam menghabiskan vouher? Gokil lo,Ra!”
“gue? lo sama Icha juga sama-sama gokil
kali!” Ara terkekeh..
Mereka ketawa bersama..
“kaki gue udah kronis ,nih. Balik,yuk.”
“ampun deh Icha. Baru seratus dua puluh
menit jalan kaki lo udah kayak oma gue aja
…” Ara terkikik.
“enak aja. Oma lo Ijo banget,tau!” Icha
senewen sendiri mendengar kakinya dibanding-bandingkan dengan kaki Omanya ara
yang berumur 75 tahun dan gila jalan itu.. Tapi, karena Icha sudah menampakan
wajah yang bikin siapapun yang melihatnya iba. Akhirnya mereka berdua pun
pulang..
Sekitar pukul delapan
malam, mereka sampai dirumah Icha.
“wuu.. macet banget..”
“abisan kita pulangnya jam pulang kerja
sih,Ra.”
“iya.. sih. Tapi, untung lo nyuruh kita
naik trans jakarta,Son. kalau enggak bangkrut deh gue tiga jam di taksi..”
“hahahaha, siapa dulu dong yang ngasih
saran.. Sonia,gitu..” tersirat rasa bangga -dan sombong- didalam gaya bicaranya
itu. Icha dan ara hanya geleng-geleng kepala
4. “Ra,
sebenernya lo ada apa ke Jakarta. Gue sama sekali ga nyangka.” Tiba-tiba saja
pertanyaan itu mengalir dari mulut Icha. Tak tertahankan dan memang tak bisa
ditahan. Disuatu minggu pagi yang indah saat mereka sedang asyik duduk-duduk di
beranda rumah Icha
“gue, ga balik lagi ke California,cha.”
Icha tampak terkejut mendengar pernyataan temannya itu.
“maksud lo?”
“iya,Cha. Sebenernya gue akan segera
pindah ke Jakarta. Ini kan udah Mei,Cha. Kelas sebelas gue di Jakarta. Gue udah
dapet Job disini. Jadi model, dan kayaknya gue juga akan wara wiri di tivi.
Buat jadi MC.”
“kenapa pindah? Lo ga seneng di amrik?”
“gue seneng,. Banget malahan. Tapi, biaya
hidup disana terlalu mahal. Gue juga ga punya teman akrab kayak lo dan
Sonia,Cha.” Icha masih sulit mencerna kalimat – kalimat yang terlontar dan
mengalir deras dari mulut sahabatnya itu.
“ada banyak rumah produksi yang udah
ngajak gue gabung,Cha. Sedangkan di amrik, udah sepi.”
“terus lo ntar tinggal dimana?”
“apartemen gue. kuningan.”
“sama siapa? Ga disini aja?”
“sama pembantu paling. Ga usah lah, ntar
ngerepotin.”
“engga kok..”
“maaf,Cha, gue ga bisa.” Icha tau betul
sifat Ara yang keras kepala itu. kalau dari awal dia sudah bilang A maka sampai
akhir dia akan terus begitu.
“menurut lo gue masuk SMA mana?” “SMA swasta
yang ada di dekat cikini aja.”
“kenapa ga masuk ke SMA yang sama kayak lo dan
Sonia.”
“karena gue akan pindah ke tempat itu.”
“lo mau pindah dari 26,Cha? Why? “
“gapapa. Gue cape aja. Nyokab juga udah setuju,
banyak hal yang akan berubah..”
“Sonia,gimana?”
“dia udah tau,Ra. Tapi dia tetap di 26.
Nyokapnya ga ngizinin dia pindah.”
Ara hanya menangguk mengerti dan tersenyum.
Tak terasa, Mei telah
berlalu dan juni telah menyapa. Ara sedang di California, untuk menyampaikan
sampai jumpa pada teman-temannya, mengambil barang-barangnya, dan membeli
clutch incarannya yang tidak dijual di Indonesia.
Juni terasa begitu indah dan cepat, tak
seorangpun teman sekolahnya yang akan tau perpindahan Icha –kecuali Sonia- dia
merahasiakannya,
Hari yang
ditunggu-tunggu pun terjadi.. perpindahan itu pun akhirnya terjadi. Icha
benar-benar pindah bersatu dengan Ara, sayang, walau satu sekolah mereka tak
bisa saling sharing. Ara mengambil jurusan IPS karena sekolahnya takut
terbengkalai kalau masuk IPA. Icha masuk ipa-pastinya- karena nilai semester
lalu mendukugnya, dengan sangat.
Tapi ada satu hal yang
sama sekali tidak Ara mengerti tentang sahabatnya. Tingkah lakunya berubah
sejak pindah dari 26. Icha seolah menjauh dari Ara. Dalam hati Ara
bertanya-tanya apa kesalahannya samapai Icha menjauhinya. Tapi, Ara tak
menanyakan itu, karena, Icha tetap membalas SMS dan mengangkat telpon dari Ara.
Jadi buat apa?, pikirnya.
--
Sejak masuk ke SMA bunda
kartini –SMA Icha dan Ara yang baru- banyak hal yang berubah dari diri
sahabatnya, khususnya hal berpakaian.
Rambut panjang Icha kini
menjadi pendek. Awalnya Ara kira Icha potong rambut, tapi ternyata tidak. Dia
menggulung rambutnya dengan suatu alat antah barantah yang dibelinya seharga 25
ribu di suatu tempat yang antah barantah juga.
Icha kini pakai kaca
mata, padahal dulu Icha memakai soft lens. Kacamatanya sama sekali ga stylish!
‘Kampungan’ begitulah orang-orang menyebutnya. Kacamata bewarna agak keemasan,
belum lagi ada tali yang mengikat kacamata itu. seperti kacamata professor yang
ada di TV atau serial kartun anak-anak.
Kini icha memakai kaus
kaki super tinggi hingga ia tampak seperti seorang pemain bola. Dan, Ara tak
pernah berhenti terkikik melihat kaki sahabatnya itu..
Roknya superpanjang,
kejar-kejaran dengan kaus kakinya, tak sedikitpun betisnya keliatan.
Kini, Icha jarang
kelihatan sewaktu istirahat, dia sibuk membaca diperpus, kalau yang satu ini
Ara mengacungkan 5 jempol untuk sahabatnya -berhubung jempol Ara Cuma 4, maka
Ara sering minjam jempol Sonia-
Pokoknya Ara tak habis
pikir dengan kelakuan dan gaya berpakaian temannya itu yang berubah seratus
delapan puluh derajat!
Kini, Icha ikut ekskul
mading yang peminatnya paling sedikit diantara ekskul lainnya. Padahal dulu
setahu Ara temannya ikut ekskul yang digemari murid popular, seperti basket
atau dance. Sejak masuk kesekolah baru ini, Ara dan Icha jarang mengobrol, Icha
seperti jaga jarak pada sahabatnya itu.
Ara tak bisa berkata
apa-apa ia tak mau memaksa kan kehendak supaya sahabatnya bicara banyak.
Tapi, satu hal yang paling bikin Ara sebal pada Icha. HP barunya.
Awalnya Ara sangat
senang begitu mendengar Icha beli HP baru. Ara kira Icha membeli BB atau
smartphone apalah. Tapi, ternyata… Icha membeli sebuah hape CDMA keluaan tahun
kapan. Dan itu seken! Hape itu malah ga bisa balas SMS Cuma bisa baca. Telpon
pun harus pake loudspeaker kalau enggak.. suara si penelepon ga bakal
kedengeran!
“Icha gila.” Cuma itu yang bisa dimuntahkan dari
mulut Ara kalau ditanya tentang sahabatnya itu.
Sonia hanya
geleng-geleng kepala,malah. Ckckckck
Dan, Icha masih bisa senyum simpul? Terlalu!
--
Suatu pagi yang indah di
bulan September, Icha terbangun mendengar ada bunyi riuh diluar. Icha membuka
pintu kamarnya yang ada di lantai dua, dan tak menemukan siapapun disitu.
“mungkin hanya mimpi” Icha berbicara pada
dirinya sendiri..
Icha kembali
menghempaskan tubuhnya ketempat tidur. Tapi, saat ia hampir menemukan
kenyeyakan dalam tidurnya, suara riuh kembali terdengar.
“siapa sih?” Icha jadi senewen mendengar suara
riuh yang mengganggu tidur panjangnya di hari minggu.
Icha masih memakai
kimono –oleh oleh mamanya dari jepang beberapa waktu lalu-, rambutnya belum disisir,
kena air pun belum. Icha keluar dari kamarnya, perlahan dia mengintip dari
lantai 2, dan menemukan keluarga besarnya ada disana!!!
“Icha.. Icha.. turun,nak.” Tante Wica memanggil
Icha berulang-ulang setelah mendapati anak itu bengong di lantai dua.
“what? Ada apa rame banget gini?” Icha melongo
melihat pemandangan tak biasa itu.
Dengan cepat, Icha
ngibrit ke kamar mandi. Dan, turun dengan kaus pink bertuliskan SPAM GIRL! Dan
rok selutut dengan bahan semi denim menghiasi kakinya. Tak ketinggalan bandana
cantik bewarna senada –pink- menghiasi kepala Icha. Dengan sigap Icha menuruni
anak tang itu. tak ada satu anak tangga pun yang terlewat, hingga sampailah ia
di lantai satu.
“wah Icha, masih jam segini udah cantik aja.”
Puji fuji saudara sepupu Icha yang keturunan Chinese.
Icha menunduk menutupi pipinya yang sudah
bersemu merah..
“makan dulu,yuk” tante Kia –mamanya fuji-
mengajak kami berkumpul di meja makan berbentuk bundar terbuat dari kayu jati,
yang special mama pesan untuk kado ultahku yang ke 13.
“mama mana,tan?” tanyaku bingung karena tak
mendapati mama disudut manapun.
Tiba-tiba saja raut muka
tante Wica berubah jadi pilu mendengar pertanyaanku.
“Cony dirumah sakit,Cha.” Seketika tubuh Icha
rubuh, Icha pingsan.
Icha tersadar disebuah ruangan, ruangan yang
sangat ia sayangi dan kenali. Kamarnya. hanya ada Fuji disana
“kamu udah sadar,Cha?” Fuji kelihatan sumringah
begitu melihat Icha sudah sadar.
“mama kenapi,Ji?” Icha menampakan senyum
khawatir.
“hahahaha„ Icha, Icha. Kamu sih main pingsan
pingsan aja. Emang kamu tau tante lagi ngapain diRS?” Fuji terkikik melihat
sepupunya itu.
“emang ngapain,Ji?”
“check up kesehatan ,doang. Hahahaha Padahal
tadi mama Cuma mau ngerjain kamu,lho,Cha. Tapi, kamu pingsan duluan.. yah..
hahaha..” Icha melongo.
Hari ini hari senin, Icha pergi ke sekolah tanpa
sarapan. Udah hampir telat. Abis gimana dia bangun jam 6. Padahal rumahnya jauh
dari sekolah. Dan, kita semua tau.. membelah kemacetan jakarta bukanlah hal
mudah.
Sepersekian detik
sebelum gerbang ditutup Icha sampai sekolah. Akhirnya…
Jam pertama, dimulai dari pelajaran Kimia. Ada
ulangan dadakan,
“untung gue udah belajar..” batin Icha.
Soalnya ada 25 dan pilihan ganda semua. Dengan
yakin Icha menjawab semua pertanyaan. Dan sepersekian detik sebelum ia berhasil
mengerjakan soal no 25. Bell berbunyi.
“what! Gue masih nomor 24, gimana ini…” Icha
bingung melihat kertas ulangan. Dan dengan berat hati Icha pun pengumpul kertas
ulangan dengan 24 jawaban itu.
Di jam pelajaran kedua.
Ada yang datang, tampaknya ia kenal. Tapi, Icha yakin cowok itu ga sekelas sama
dia.
“hai, nama saya Andre.”
Haa! ANDRE! Temen SD gue
yang ingusan! Sialan… kok dia sekarang cakep banget kayak pangeran? Padahal kan
dulu jeleknya nauzubila bin zalik! Kemana ingusnya yang biasanya bersliweran di
hidungnya itu? kemana?!?
Andre masih asik
memperkenal kan diri di depan kelas, sementara Icha memasukkan tangannya ke
dalam laci meja dan meng-SMS ara.
“Ara!! Gawat! Lo inget Andre temen SD kita yang
ingusan dulu? Dia ada disini! Cakep lagi! AAAA!”
Disekolah yang sama di
kelas lain, sebuah hape bergetar. HP Ara. Ara yang membaca pesan dari Icha
tersebut langsung shock! Ga mungkin siAndre masuk sini..
“lo jangan becanda deh,Cha!”
“idih! Gue ga becanda!”
“coba, lo tanya dulu! Apa dia bener Andre kita yang
dulu atau bukan!”
“oke. Ntar istirahat temui gue diperpus yak!”
“sip..”
Entah keberuntungan apa
lagi yang mendatangi Icha, Andre duduk disebelahnya! Sekali lagi DISEBELAHNYA!
“hai, Icha.” Tanpa basa basi, icha menjulurkan
tangannya pada Andre.
“Andre. Bandung!”
‘kan bener! Andre tuh dulu pindah ke bandung!
Pasti ini si Andre ingus’ batin Icha.
“Lo mau ga jadi cowok gue!” tiba-tiba kata-kata
itu keluar dari mulut Icha tanpa ada rem atau apapun.
“hah?” Andre tanpak shock.
‘aduh„ kok gue PD banget!’ tiba-tiba seluruh
mata tertuju pada mereka berdua yang duduk bersisian.
Tiba-tiba secara reflek Icha memeluk Andre.. dia
seneng banget! Andre masih diam.
Selama pelajaran
berlangsung mereka hanya berdiam-diam dan canggung sekalee..
Hingga tibalah waktu
yang ditunggu-tungu.. Istirahat! Tanpa basa basi, tanpa sepatah katapun yang
keluar dari mulut Icha, Icha menarik tangan Andre kasar, dan menariknya kearah
perpus. Perpus lumayan jauh, harus dua kali naik tangga. Sedangkan Ara sudah
ngetem dari tadi disitu, karena lokasi kelasnya yang ada didekat perpus. Andre
ngos-ngosan karena harus naik tangga berulang-ulang. Tapi, toh dia tak
berontak.
lo berdua ntar ke apartemen gue ya
sepulang sekolah! Ga mau tau!”
Mereka tak mengatakan sepatah kata apapun
hanya mengangguk lemah. Karena, mereka sadar melawan Ara sama saja melawan guru
super kiler di asia afrika.. ga mungkin!
Sepulang sekolah..
“Yuk, naik mobil gue” Andre melongo.
“what, lo udah naik mobil? Cool!”
“yub. Gue kan udah 17! Ga kayak lo pade!
Masih 16! Hahahaha!”
VW kombi
Ara bewarna merah cerah melaju dengan kencangnya membelah kemacetan Jakarta. Ga
sampai 15 menit mereka sampai di apartemen Ara di daerah kuningan.
“tumben kaga macet”
Sini lo masuk semua! Sesampainya di
apartemen. Dengan sigap, Ara menyuruh Icha membuka kaus kakinya. Melepas
kacamata, dan akhirnya mengurai rambutnya.. Andre melongo
“Alisya?” pekik Andre kaget setengah mati.
Icha-eh Alisya- mengangguk.
“gue sama sekali ga ngenalin lo,loh. Cinta
monyet gue bisa berubah jadi jelek banget gini.. hahahaha” Andre tertawa
nyaring. Icha tertawa getir.
Akhirnya sisa hari itu mereka habiskan
untuk bercengkrama dan bermain. Pukul 5, Ara memulangkan ke 2 temannya itu
kealam –eh kerumah- nya masing-masing..
5. Hari sabtu pagi,
disuatu hari libur di oktober yang indah. Ada sebuah SMS masuk ke HP GSM Icha,
dari Ara.
“ga mau tau, jam 6 ada di sevel tempat
biasa. Titik! – Ara”
What?! Ara ganggu banget.. gue lagi asyik
bersantai dia malah minta ketemuan. Bodo amat ,ah. Masih ntar sore ini.. Icha
masih asyik bersantai di sebuah kursi santai di dekat kolam renang rumahnya..
bergaya bak cewek penjaga pantai. Itu lah hobi terpendam Icha.. ckckck
Sekitar pukul 4 Icha baru mandi pagi.
–WHAT!- lalu, bergegas ke rumah Sonia.
“udah lama ga hang out bertiga,nih.”
Sesampainya di rumah Sonia. Icha memencet
bel, dan kebetulan yang membukanya adalah Sonia sendiri.
“Son, kata Ara ntar jam 6, kita ketemuan
di sevel. Sejam lagi lo udha harus selesai make up!.
“sejam lagi kan jam 5,neng!”
“Jakarta macet!”
Sekitar jam 5 mereka
hengkang dari rumah masing-masing menuju sebuah restoran waralaba itu. dan,
benar saja macet merajalela.Pukul 15.45 Icha dan Sonia sampai disana. membeli
dua gelas minuman dan duduk disalah satu bangku sambil menunggu Ara yang belum
kelihatan batang hidungnya itu.
Pukul 06.03 Ara sampai di Sevel. Icha
geleng-gelen kepala.
“telat tiga menit,Ra. ckckck” celoteh
Icha..
mereka bertiga tertawa..
Ara mengambil segelas
slurpee dan membayarnya, mereka bertiga naik kelantai 2. Bersantai di sana.
Pukul 06.15 seorang cowok yang Ara dan Icha kenal datang. membawa segelas hal
yang sama. Slurpee. Tanpa basa-basi si cowok tersebut duduk dimeja yang sama
dengan 3 cewek itu. Sonia yang -merasa- tidak mengenal cowok itupun mengambil
ancang-ancang mengusir cowok itu. Tapi, sepersekian detik sebelum itu terjadi,
Icha angkat bicara.
“lo kesini juga?” Andre hanya mengangguk.
sejurus kemudiaN, Sonia
tak mau ketinggalan berita.
“dia siapa?” mereka bertiga tertawa. Sonia
melongo.
“dia Andre ingus. Temen kita SD! Masa lo
lupa?”
“Ingusnya ga bisa diilangin?” Andre
senewen sendiri.
Ara dan Icha menggeleng keras.
“andre.. andre.. ga kenal tuh gue.”
celetuk Sonia.
“oh,iya, kita sekelas pas lo udah kelas 5
ya? Andre pindah pas kelas 4.. pantes ga inget..” Ara memberi tau, -eh sok tau
maksudnya-
19.00. tiba-tiba Ara dan
Sonia menyingkir dari meja itu entah karena alasan apa.
“lohlohloh.. ikut wey!” Icha ingin berdiri
saat kedua temannya meninggalkannya. Tapi, Andre menggapai pergelangan
tangannya pelan. Dan, matanya mengatakan Icha segera kembai duduk. Icha kembali
duduk dengan bingung.
“Mereka kenapa sih,Ndre?” Andre
menggeleng.
“Cha, sebenernya gue mau ngomong sesuatu.”
“apa?”
tangan Andre
bermain-main diatas meja, meraih minumnya, tidak diminum, dikembalikan lagi ke
situ.
“bisa kita balikan kayak zaman SD dulu?”
pertanyaan Andre membuat seolah ada yang batu besar yang mengganjal
tenggorokannya. Di meja yang berbeda ada Sonia dan Ara yang terkikik sambil
mengacungkan jempol mereka.
‘KURANG AJAR. PENGKHIANAT!”
awalnya Andre ingin
memegang tangan Icha, tapi diurungkannya lagi.
“Cha..”
“hmph, hah? oh iya.. bentar, eh tunggu.”
Icha gelagapan.
“ga usah di jawab sekarang,cha. Tapi, satu
hal aku akan nunggu jawaban kamu.”
tak lama, HP Andre
berdering.
sebuah telpon
“hallo, mama, Andre lagi dirumah temen.
apa? hah? dimana dia? iya..iya.. aku segera kesana.. iya mah!”
telponnya selesai, tapi raut wajah sedih
tergambar jelas di wajah andre.
“kenapa?” Icha tampak khawatir pada raut
muka sahabatnya yang tiba-tiba berubah itu.
“aku harus pulang. Lia, adikku, masuk rumah
sakit.”
“maaf, aku tak bisa ikut,” Andre
mengangguk paham lalu pergi.
“loh,loh,loh, kok pergi!”
“bengek lo semua! bengek! apa maksudnya
ninggalin gue sama dia disini hah,”
Ara dan Sonia menampakan
senyum sok manisnya, kemudia nyengir.
“ga usah nyengir. ga lebih bagus dari
topeng monyet yang suka lewat didepan rumah!”
“ye maap, ini kan ide Ara,Cha.”
“oh nyalah-nyalahin lo sekarang?!?”
“udah ga usah berisik! lo berdua gue
hukum. bayarin makan gue sepuasnya sekarang!”
ke dua orang itu segera mengecek dompet
mereka masing-masing…
--
Aku benar-benar bingung
harus menjawab apa pada teman-temanku. Khususnya Andre. Aku sangat menyangi
mereka bertiga, khususnya An
Andre. Tapi, jujur aku belum siap punya pacar lagi
sejak ditinggal Leo waktu itu. banyak luka yang belum terobati. Kini aku harus
merajut kisah baru lagi? Arrgh! Aku benar-bena dilema. Akhirnya dengan berat,
aku meng-SMS Sonia yang tadi pagi berangkat ke Bandung.
“Sonia!! Lo enak banget yak ke Bandung!
Leh oleh jangan lupa” entah apa yang terpikir oleh ku. Tapi, aku tidak
melayangkan pertanyaan sedikitpun pada temanku itu.
“leholeh? Ga janji.. budget gue kaga ada…”
“yee elu! :P”
“oh,iya,ngomong-ngomong soal leholeh nih,
lo udah nerima belum Andre belom?” sms dari Sonia tadi membuat ku mual. Ingin
mati, tepatnya.
“apa hubunganny”
“hubung-hubungin aje. Jawablah pertanyaan
gue!”
“belum. Nape?”
“yakh.. iyain aje nape..”
“sip..”
“Peje –pajak jadian- bu
at gue dan Ara jangan lupa ye.”
“sip. :)”
Setelah SMS terakhir terkirim, Icha
terjatuh ke tempat tidur, tan terlelap disana.
Pukul 8 malam, hari
minggu yang sama.
“iya,Ndre.” Tanpa basa basi Icha
mengirimkan SMS kepada Andre.
Setengah jam kemudian Andre membalas, tak
ada huruf apapun disana. Hanya ada senyuman
“:)”
Hari sabtu berikutnya.
“mau jalan?”
“boleh,Ndre.”
“kemana?”
“gramed atau mall?”
“blok M aja yuk.”
“oke :)”
Pukul lima sore mereka
berangkat. Setelah satu jam perjalanan sampai lah mereka ketempat yang dituju.
Blok M.sesampainya di blok M, mereka mampir ke food court dan makan disana.
Habis itu, Icha belanja sebuah sepatu, Icha memang tak sophacolic seperti Ara
atau Sonia. Tapi, Icha kutubuku! Setelah membeli sepatu mereka segera menuju
gramed yang bersebrangan dengan blok M, membaca dan membeli beberapa buku
disana. Pukul setengah delpan mereka pulang, sejam kemudia Icha sampai
dirumahnya.
“good night,princess.”
“bye..!” Icha melambai sesaat
sebelum kekasihnya hilang dari hadapannya.
6. Sudah 3 hari, Icha tidak
masuk. BBM dari Sonia,Ara,maupun Andre tak dibalasnya. Sonia yang rumahnya tak
terlalu jauh pun sudah datang menjenguk sahabatnya. Tapi, rumahnya sepi. Bahkan
kosong,Mungkin. Hingga pada malam itu sebuah SMS dari orang tak dikenal masuk.
“son, lo apa kabar? Ara dan Andre gimana?
Sehat? Besok gue pulang. Jum’at paling udah pulang. Jangan dibalas ya, ini
nomor tante gue. – Icha.”
Sesaat hati Sonia lega mendapat SMS dari
temannya itu. Tapi, mengapa sahabatnya itu tidak memberi tahukan keberadaannya?
Dimana sebenarnya dia? Segelumit pertanyaan mengeliat dan berkecambuk di
pikiran Sonia.. Pikirannya tak bisa fokus mengerjakan PR IPS-nya.
“semoga lo sehat-sehat aja disana :) “
--
Pada hari jum’at seperti yang dijanjikan
Icha. Ia sudah masuk ke sekolah. Semua sibuk mempertanyakan kemana dia selama 4
hari ini. Ngapain, dan kenapa ga ngabarin.
“Bandung, ada urusan keluarga gituu… dan
Hape gue lowbat, aku lupa bawa carger. Sorry bangeeet,, :’)” wajah memelas Icha
mendukungnya untuk minta maaf..
dua bulan kemudian :
"Cha, jalan yuk ke semanggi. Udah
lama ga jalan bareng ,nih."
"Maaf,Son. Gue ga bisa. Gue udah janjii
jalan sama Andre."
"Oh yodah. Next time aja ya,
Cha."
--
" Cha, jalan yuk."
"kemana? kapan?"
"ntar sore ke dufan."
"duh, ntar sore ya. Maaf,Ra ga bisa.
Gimana kalau sabtu aja. Gue free."
"emang lo mau kemana?"
"nonton bareng Andre."
"oh, ya udah. Tapi, maaf sabtu gue ga
bisa. Lo tau kan gue ada kursus piano."
"oh,iya, gue lupa,Ra. Ya udah next
time ya. God Bless :)"
Bukan sekali dua kali
saja Icha tidak jadi pergi bersama teman-temannya. Sudah sangat sering,bahkan.
Ara dan Sonia bahkan sudah muak mengajak Icha.
"udahlah, Son. Mending kita main
berdua aja. Dia udah terlalu sibuk sama cowoknya." Begitu komentar Ara.
--
"don't
forget your friendship if you in relationship."
tiba-tiba sebuah tweet dari sebuah akun
yang diikuti Icha muncul. Ia hanya membacanya sekali, lalu melupakan tweet itu.
Tapi, tweet itu tidak benar-benar bisa di lupakan oleh Icha. Tweet itu terus
terkenang di pikirannya, terus terus terus tanpa henti dan membuat perutnya
berputar ingin muntah.
"Ara.. Sonia.. maafin gue"
ucapnya lirih.
kepalanya terasa berat sempoyongan.
Tubuhnya tampak rubuh, tapi ia tetap menjaga keseimbangannya. Ia tidak pingsan!
Icha hanya menangis.. terus..terus..terus..terus sampai matanya hampir bengkak.
-
Seperti yang diduga,
Icha tidak sekolah hari ini. Matanya terlalu besar untuk masuk sekolah. Dan
nyalinya keburu ciut sebelum ditertawakan teman-temannya yang melihat matanya
yang besar itu.
-
"maaf." Ujar
Icha pelan sekali. Suaranya hampir tak terdengar, Ia tampak berbisik.
"untuk apa?" Ara tampak bingung.
"For everything,Ra."
"maksud lo? ngomongnya yang bener.
Gue ga ngerti." sambung Sonia.
"maaf gue ga bisa jadi temen yang
baik buat kalian. Gue lebih sering sama Andre dari pada lo berdua."
"ya udah, enggak apa-apa. Gue cuma
khawatir aja sama lo."
"khawatir? kenapa?"
"bentar lagi ujian kelulusan. Lo mau
ga lulus?"
Icha menggeleng lemah.
"belajar ya."
-
Sebuah
malam minggu,
"ndre, ini last night kita
ketemuan."
"putus?"
"enggak."
"trus."
"ini juga hari terakhir gue balas SMS
dan telp lo,"
"why?"
"gue cuma pingin fokus belajar buat
ujian. Lo juga kan."
"lo bijaksana," Andre menambakan
senyum yang tak pernah kulihat sebelumnya Sebuah senyum beku yang sangat indah,
mengalahkan ke indah sakura sekali pun.
7. 2
tahun berlalu.
saat ini, aku sudah duduk di semester IV
jurusan kedokteran.Hari ini, kami berenam -aku,Andre,Ara,Lima*pacarnya siAra*
dan Sonia dan satunya lagi, Sweat, anjing kesayangan Ara..- sedang bermain
bersama di Bali. Melihat sunset, berjemur, bermain dan melakukan apapun yang
menyenangkan.
"I remember...
The way you glanced at me, yes I remember
I remember...
When we caught a
shooting star, yes I remember
I remember...
All the things that we
shared, and the promise we made, just you and I
I remember...
All the laughter we
shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn
When we were dancing in
the rain in that december
And I remember...
When my father thought
you were a burglar
I remember...
All the things that we
shared, and the promise we made, just you and I
I remember...
All the laughter we
shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn
I remember...
The way you read your
books,
Yes I remember
The way you tied your
shoes,
Yes I remember
The cake you loved the
most,
Yes I remember
The way you drank you
coffee,
I remember
The way you glanced at
me, yes I remember
When we caught a
shooting star,
Yes I remember
When we were dancing in
the rain in that december
And the way you smile at
me,
Yes I remember
"
suara Sonia mengalun lembut,Indah, tak ada
yang mampu menandingi suaranya. No one!
“kenapa lo ga jadi
singer aja,Son?” Tanya Lima begitu Sonia turun dari panggung.
“Ini penyanyi.” Sergahnya.
“Maksud gue penyanyi professional. Atau
ikut ajang pencarian bakat nyanyi kayak Indonesia Idol?”
“oh. Pengen sih, tapi..” Sonia menggantung
pembicaraannya.
“Jadi nyokabnya ga ngebolehin. Menurut
nyokabnya Sonia, penyanyi tuh ga bisa jadi lahan cari makan. Ga menjanjikan
gitu,” Ara memotong.
“Apal banget lo, dialog nyokabnya Sonia.”
Andre senewen.
“Iyalah.. siapa dulu dong.. Nyokabnya
Sonia.” Ujar Icha.
“Nyokab gue? Mitamit cabang baby,deh..”
ujar Sonia sambil mengetuk-ngetuk tangannya ke kepala dan ketanah
berulang-ulang.
“Gue juga ogah jadi nyokab lo!” Ara tak
kalah senewen.
“Tunggu deh,son, lo bilang tadi ape?
Mitamit cabang baby? Emang lo punya baby? Pacar aja kagak..”
“cari masalah banget lo,Ndre. Ngeremehin..
Tapi, tunggu deh, emang iya sih, gue emang kagak punya cowok ya..” tiba-tiba
Sonia menjadi tidak bersemangat.
“emang apa salahnya,sih,ga punya pacar?”
tanyaku menyemangati.
“ga salah sih, KALAU SONIA MASIH SMP.
Tapi, dia kan udah bangkotan..” tawa Ara dan Andre meledak. Aku dan Lima hanya
diam..
“ayolah. Itu lucu!”
sergah Ara menghentak bahu Lima,kekasihnya. Lima hanya tersenyum dibuat-buat.
“tunggu,deh, pacar terakhir lo. Siapa?
Kemana dia?” Andre bertanya untuk membuat Sonia galau.
“Yudha. Australia.” Setelah mengucap nama
itu, tampak sebuah senyum terkembang di wajah berlesung pipi,Sonia.
“loh? Lo kok seneng, diingetin sama cowok
yang udah ninggalin lo?” tanya Andre gusar, Andre sangat mengharapkan Sonia
menampakan muka bak nenek lampir. Tapi, Sonia tampak bahagia.
“iya. Soalnya Yudha janji bakal balik..”
“Kalau enggak balik gimana?” Ara
menakut-nakuti.
“ga mungkin. Yudha ga pernah ingkar
janji.” Tiba-tiba Lima melirik kearah Sonia dan memuntahkan isi mulutnya,Jus
jeruk hangat.
“siapa? Yudha? Australia?” tanya Lima.
“iya, dari tadi kan gue bilang gitu. Lemot
banget sih lo,Lim.”
“Yudha yang baru wisuda juni kemaren?”
tanya Lima. Sonia mengangguk.
“Yang tingginya sekitar satu koma tujuh
meter?” sekali lagi, Sonia mengangguk.
“Yang nge-Gym tiap weekend?” Sonia tetap
menganguk.
“Tunggu deh, kok kayaknya lo kenal banget
sama cowoknya Sonia.. jangan-jangan…” Ara menaruh curiga pada kekasihnya itu.
Lima tak menggubris
“yang tidur pake celana pendek yang kalau
enggak bergambar spongebob berarti gambar sinchan..”
“Mana gue tau! Lo kira gue pernah liat dia
bangun tidur?” Sonia mulai senewen.
“astaganaga. Kayaknya gue perlu kirim
e-mail ke Yudha buru-buru deh..” Lima tampak panik.
“Kamu kenal dia,Lim?” Ara bertanya lagi.
Tapi, tetap tak digubris Lima.
“hah? E-mail? Emang dia kenapa?”
“iya. Dia itu kan BFF gue, nah waktu dulu
dia pernah cerita kalau dia punya cewek yang super cantiiiikk,, Cinderella.
Lewat!” Sonia tersenyum mendengar itu.
“Nah, ternyata eh ternyata, ceweknya itu,
elo! Yang mit amit cabang baby! Gue harus ngasih tau dia supaya pake kacamata
super tebel sesegera mungkin.”
“Kurang ajar!” Sonia menahan amarah. Ara
dan Icha tertawa.
“jadi dia BFF lo?” tanya Ara tak percaya.
“Iya, Ra, ga percayaan banget dah.”
"eh, disautin,
masih sadar ada yang ngomong toh." Ara memanjangkan bibir bawahnya keluar.
"jangan gitu dong,ntar
jelek.."Lima membujuk.
"emang udah jelek dari sononya..
hahaha" Sonia terkikik
"Hus, ga boleh gitu"Andre
menegur.
"Udah dari pabriknya," Lanjut
Andre.
Sonia dan Andre terkikik. Icha hanya
geleng-geleng kepala.
"tuh,liat,cewek lo aje
bingung!"Ekor mata Ara menuju ke arah Icha, tapi, ia tetap menjulurkan
lidah ke arah Sonia dan Andre.
"Biarin, bloe!" Sonia tak mau
kalah mengeluarkan lidahnya.
"Panjang nemen,rek.." Icha
mengeluarkan logatnya.
"Lo kan Chinese! Gimana ceritanya
ngomong kayak gitu? Sok jawa ,deh!" Sonia senewen, merasa logatnya di
plagiat oleh temannya itu.
"hahahaha, kalah yaaaa..." Ara
angkat mengikik.
"diem lo,manado!" Sonia tampak
marah.
"Ape lu,Jawa?"
"eh.. eh.. kok jadi bawa-bawa SARA
sih? ga boleh.." Lima mengacak-acak rambut kekasihnya.
"iya cayaaanngg.."suara Ara
tampak manja.
"Jijay.." Sonia tampak muak.
"sirik tanda tak mampu."
"gue? sirik? sama lo? Mitamit"
Lima dan Icha hanya geleng-geleng kepala.
"Tunggu,deh,
dari pada kita ngobrol ga jelas gini mending gue jadian aja
sama Andre.” Tiba-tiba Sonia memegang tangan Andre
“TMT –teman makan
teman- lo!” Ara menghardik.
“Bodo amat lah~”
Sonia menjulurkan lidah ke arah Ara, Ara membalas. Icha hanya tersenyum.
“Kalian kayak
anak-anak.” Lima tampak tak senang memandang
pemandang tak menyenangkan itu. icha dan Lima memutuskan pergi mencari makanan
malam itu, dari pada ikut-ikutan gila dengan tiga orang gila itu...
Malam itu, Lima dan
Icha bercakap-cakap tentang apapun –khususnya pacar meraka masing masing-
mereka memandang Bali yang terhampar dengan pantai indahnya. Sebelum mereka
harus pulang,besok.
8. Sebuah
senin yang indah di awal februari, sebuah telpon bordering di rumah Sonia.
Sisca, adik Sonia yang mengangkatnya, saat telpon berbunyi Sonia belum bangun.
Menurut pengakuan Sisca yang hanya 3 tahun usiannya lebih muda dari
Sonia, telpon itu datang dari seorang pria yang memiliki suara berat dan
tampaknya orang itu sedang kurang sehat, karena terdengar bunyi yang tidak
mengenakkan dari telpon, yang menurut Sisca adalah bunyi dahak yang menyangkut
di tenggorokan pria itu, pria itu menitipkan salam sayang pada Sonia via Sisca
dan berjanji akan pulang tidak lama lagi, penuturan itu jelas membuat Sisca
secara refleks mengejek Sonia dengan teriakan Cie yang diteruskan oleh Stefanny
dan Salma yang tiba-tiba datang. Kamar Sonia pun tiba-tiba menjadi riuh pagi
itu, tiga tumpuk bantal kapuk super tebal Sonia-pun tak mampu meredam suara
ketiga adiknya itu.
“apasih? Berisik
tau!” Sonia sudah mulai geram melihat kelakuan tiga adiknya itu yang kian hari
kian menjadi.
“gue sebutin nih
nama pacar lo satu-satu biar kalau mama denger lo dimarahin!” lanjut Sonia yang
berakhir dengan adegan menjulurkan lidah yang membuatnya tampak menjadi seperti
anak SD yang mengejek teman sebangkunya.
“emang pacar gue
siapa coba,son? Kayak lo tau aja!” tantang Sisca pada kakaknya itu.
“tau lah! Si Faridh
yang kakak kelas lo itu kan?” Sisca menelan ludah mendengar pernyataan kakaknya
itu. Sisca celingak celinguk mencari keberadaan mama-nya yang bisa saja muncul
kapanpun. Karena ketahuan pacaran sebelum lulus SMA sama dengan membuka sumur
maut.. HIIIII…
“kalau aku,sih, ga
peduli. Aku kan ga punya pacar..” ujar Stefanny bangga sambil menepuk-nepuk
dadanya.
“iya,ya, enak banget
jadi lo.. Jomblo ngeness!! Hahaha.. “ Siska tertawa dengan nada mengejek pada
adiknya yang hanya lebih muda satu tahun darinya itu.
Tiba-tiba saja Sonia
angkat bicara.. “oh, single toh! Terus yang suka ngantar pulang kamu sampai
pengkolan situ siapa,Stef? Yang pake kacamata itu lohh.. yang… apa perlu gue
sebut namanya?” Sonia mengeluarkan nada mengancamnya yang sudah lama tidak dia
pakai setelah perginya Yudha ke Australia.
“ah.. yang mana kak?” Stefanny
menampakkan wajah polosnya.
“gue sebut nih ya,
namanya.” Stefanny menelan ludahnya dalam-dalam, tapi, dalam hatinya paling
Sonia hanya berlagak. Enggak mungkinlah Sonia tau.
“Ju….” Sonia
menggantung kalimatnya.
“Ju? Siapa,Son?
Salma dan Sisca tampak penasaran.
“cek aja dompetnya.”
Mata Salma dan Sisca segera tertuju pada dompat kecil bergambar beruang milik
Stefanny. Sisca jelas lebih kuat dibanding Stefanny yang kurus ceking, dibantu
Salma, tak perlu waktu lama bagi mereka untuk melumpuhkan Stefanny.
“Julian? Demi apa?”
Tiba-tiba suara Sisca terdengar shock! “gue kan temennya!Best friendnya pula!
Masa gue ga tau?”
“begitulah.” Sonia
mengangkat bahu. Stefanny sudah terduduk dilantai meringis kesakitan setelah
kedua tangannya diplintir oleh lawan yang benar-benar tak imbang untuknya. Air
matanya juga mengalir sedikit demi sedikit dari mata super sipitnya itu. tapi,
ketiga saudara perempuannya sama sekali tak perduli.
“kalau salma sih gue
tau.” Sisca berucap santai.
“siape? Kasih tau
dong! Kan lo udah ketahuan, Stefanny juga udah tuh, sampai nangis. Lagi…
hahaha”
Salma bertiingkah
sok bodo amat, padahal dalam hati dia meringis.
“Sama Rian yang
kapten basket di SMA gue, yang pinternya setengah mampus! Yang gantengnya… ngalahin
Happy salma!” seru Sisca berapi-api.
“ya iyalah. Ga
mungkin Happy Salma ganteng. Dia kan cewek” Sonia tampak sewot. Tapi, Salma
ikut meringis menyadari dirinya sudah ketahuan pacaran sama seorang cowok yang
lima tahun lebih tua darinya. Ia baru saja duduk dilantai dan ingin
menyandarkan kepalanya di bahu Stefanny saat Stefanny berdiri dan menghapus air
matanya.
‘dut’ sebuah bunyi
dari negeri antah berantah terdengar, tapi, tak ada satu pun dari mereka
berempat yang perdulu. Mereka memang keluarga yang aneh, mereka sangat tak
perduli pada bunyi apapun. Mereka akan marah ketika mendengar sebuah bunyi yang
tak lama mengeluarkan bau. Tapi, karena kali ini tak berbau, mereka sama sekali
tak perduli.
“hah? Rian? Yang
cakepnya keambang batas itu? yang tinggi itu? yang kalau pacaran awet banget
itu? demi apa? Woww! Ga nyangka gue kita dikalahin sama anak kelas delapan.
Padahal dia sama-sama kelas sebelas kayak lo kan, Sis?” tantya Stefanny tak
percaya.
“iya sih, emang gue
sama-sama kelas sebelas. Tapi, dia kan kelas unggulan. Gue kan regular. Tapi,
masalah dia benar-benar jadian atau enggak sama ADIK kita ini, tanya aja sama
KAKAK kita,ini.” Sisca menekan kata ‘Kakak’dan ‘Adik’.
“iya, bener deh.
Demi apapun gue ga bo’ong! Gila aja ada cowok yang nganter pulang tiap hari.
kecuali dia tukang ojek, hahahaha” mereka tertawa lepas,kecuali Salma. Tawa
mereka terhenti melihat Gilbert yang masuk membawa makan. Membicarakan pacar di
depan Gilbert sama saja bunuh diri, Gilbert adalah pengadu ulung. Bersamaan
dengan masuknya Gilbert kekamar Sonia mengajak kakak-kakaknya itu sarapan,
Salma,sisca,Stefanny, memilih bubar untuk ikut sarapan.
Tepat empat hari kemudian sesosok pria
berusia sekitar 22 atau 24 tahunan, datang mengunjungi rumah Sonia. Pria itu
memakai kemeja putih,jas hitam, dan dasi bewarna biru donker dan ada sedikit
motif bunga disana.
“Sonianya ada?” tanya pria itu tanpa
basa-basi.
“iya. Sebentar ya. Saya panggilkan.” Jawab
Sisca santun. Dalam hati Sisca bertanya, siapa pria itu? tampan sekali.. jangan
sampai dia pacarnya Sonia karena jelas Sisca tak mengizinkan. Orang setampan
dia cocoknya dengan aku! Serunya dalam hati.
“ada orang didepan,Son.” Ujar Sonia pada
Sisca yang mengetuk pintunya.
“siapa?” tanya Sonia.
“lihat aja sendiri. “ Sisca berlalu ketika
informasinya cukup untuk Sonia. Sonia membuka handle pintu kamarnya perlahan.
Berjalan dengan mata yang masih sangat mengantuk. Tak ada nuansa kebahagiaan
dari raut wajahnya. Pikiran tentang Yudha bergelayut di setiap sudut otaknya.
‘Yudha, kapan kamu pulang?’ Sonia berkata pada dirinya sendiri. Hingga ia
melihat sesosok pria yang sangat mirip dengan Yudha, Sonia mengucek matanya
berulang-ulang, tapi, pria itu tetap ada disana.
“ini bukan mimpi.” serunya yakin
“ada apa kesini,Yud? Kapan pulang dari
Australia?” Sonia bertanya tanpa basa-basi. Ia bertanya tampak seperti orang
yang tidak menginginkan kepulangan Yudha. Tapi, hati kecilnya bergejolak. Ada
sesuatu yang ingin ia muntahkan dari bibir mungilnya itu. Tapi, toh, tak
terucapkan. Ia mengejek dirinya sendiri. Ia ingin mati karena telah membohongi
dirinya sendiri. Tapi, toh, ia tetap terpaku memandangi Yudha dengan tatapan
hampa. Ia merindukan Yudha,sangat. Perlahan setitik air membasahi pipinya. Ia
mengutuki dirinya sendiri! Kenapa ia harus terlihat lemah didepan orang yang
harus ia tinggalkan? Tapi, tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut
kedua sejoli itu. Tapi, sebuah senyuman terukir dari bibir Yudha. Senyum yang
indah. Senyum yang menghangatkan. Seketika, jiwa Sonia terasa kekurangan
cairan. Ia tampak ingin mati. “oh, Tuhan, jangan lagi..” serunya dalam hati.
Yudha mendekat perlahan nafas kekasihnya itu mulai terasa mendekati tubuhnya.
Pria itu mendekapnya lembut.
“Udah, jangan nangis. Aku udah disini.”
Sisca dan Salma mengintip dari balik lemari jati ibu mereka.
“siapa dia? Jangan bilang dia pacarnya
Sonia.” Rasa takut berkecambuk dipikiran Sisca.
“Mungkin aja. Emang kenapa kalau iya? Kak
Sisca kan juga udah punya pacar.”
“Iya,sih” Hati Sisca remuk seketika. Patah
hati. Ia meninggalkan Salma yang masih asyik nguping pembicaraan Sonia dan
Yudha.
“kapan sampai?”
“ Minggu malam. Maaf aku baru kesini.
Kemarin aku ada meeting dengen clien di daerah Bogor. Kalau tender aku sukses,
aku bisa bolak balik, jakarta-Bogor,kan? Kita bisa jadi sering ketemuan.” Yudha
berkata antusias.
“Tapi, aku enggak yakin,Yud.” Wajah Sonia
tampak tidak bersemangat.
“Why?”Semangat Yudha sudah pupus
sepersekian detik setelah mendengar pernyataan terakhir Sonia.
“Entahlah. Banyak hal yang tak bisa
kujelaskan.” Sonia tampak lesu.
“ I love you. And no one and no reason
can change that.” Yudha berkata sungguh-sungguh.
“Really? Kalau lo emang serius, lo
datang ke acara ini. Dua hari lagi. “ Sonia masih sangat tidak yakin.
“ya udah.” Yudha melihat sekilas kearah
arlojinya. “sudah waktunya. Aku harus pergi ada meeting.” Yudha mengacak-acak
rambut kekasihnya itu. Sonia tersenyum, Yudha masih seperti dahulu. Yudha masih
Yudha yang ia sayangi. Yudha yang lebih mementingan meeting dari pada apapun.
Dada Sonia bergejolak bahagia. Sudah lama sekali,ya,Yudh..
Sonia mengantar Yudha sampai ke beranda.
Melihatnya sampai taxi yang ditumpanginya tak terlihat lagi. Membayangkan dua
hari lagi, saat Yudha datang ke cafe tempat dia tampil terakhir kali. Tak cukup
lama untuk Sonia berpikir. Ia segera loncat kearah telpon, memencet nomor demi
nomor, Icha mengangkat telpon itu dengan riang. Icha menjadi benar-benar riang
setelah mendengar celoteh riang sahabatnya tentang Yudha. Tapi, Icha
menyarankan menceritakan pada Lima. Lima lebih mengerti tentang Yudha,
setidaknya lebih dari pada yang Icha tau..
“Kayaknya lo emang bener,deh,Cha. Ya udah
gue telfon Lima dulu ya.”
‘tet.’ telpon dimatikan langsung oleh
Sonia sebelum mereka berdua mengucapkan salam penutup.
cukup lama Sonia menunggu. Barulah
kemudian Lima mengangkat telpon dari Sonia.
“lambat,lo! Masa sekretaris lo mulu yang
ngangkat telpon dari gue?”
“Hahahaha, maklum gue orang sibuk. Lagian
itu tadi bukan sekretaris gue, pembantu gue.”
disebuah ruangan yang cukup besar,rumah
Lima. Seorang gadis berusia sekitar dua tahun lebih muda dari Sonia menatap
Lima geram. Ia adik Lima yang tadi disebut sebagai pembantu.
“Tega,lo! Dia kan adek lo! Lagian dia kan
galaknya setengah mampus!” Sonia tampak getir.
“Udah, ada apa? to the point aja.
Gue sibuk,nih.” Lima terdengar tak sabar.
“Yudha di Jakarta,Lim.” Sonia menahan
napas.
“Udah tau. So?” tanya Lima polos.
“ya. What do I do?” Pertanyaan itu
membuat Lima diam sejuta bahasa. Tiba-tiba tawa Lima pecah...
“Kok lo nanya sama gue sih,Son? Yang
ceweknya kan elu.”
“yub. I know, but, gue selalu
kehabisan stock kata-kata tiap didekat diia.. Gimana cara gue ngomong?” Suara
Sonia terdengar sedih. Lima kembali terdiam, kali ini ia serius. Bukan sedang
menahan tawa.
“Gue pingin dia ga pergi lagi,Lim? Gue
pingin dia stay di Indonesia. Tapi, gue ga mau jadi egois atau possesive.” Nada
suara Sonia terdengar frustasi. Sangat.
“I know, posisi lo sekarang emang
lagi berat,Son. Tapi, gue punya cara..”
***
Hari Minggu malam.
Sebuah cafe di Kemang.
Hari ini, hari terakhir Sonia nyanyi.
Mamanya udah ngelarang, kalau Sonia terus bernyanyi, uang jajannya di putus.
Uang kuliah bayar sendiri. Itu jelas sangat mencekik Sonia. Dan dia hari
terkahir ini, ia sangat berharap Yudha datang. Karena ini akan menjadi saat
pertama dan terakhir bagi Yudha melihat Sonia tampil. Malam itu, sekitar pukul
tujuh. Sonia naik ke panggung yang hanya lebih tinggi sekitar setengah meter
dari lantai biasa. Ia bernyanyi beberapa lagu, hingga pada lagu ke empat. Sonia
dan bandnya istirahat sebentar. Sampai sekitar pukul setengah sembilan Yudha
belum juga datang. Sonia was-was. HP Sonia berdering,dari Yudha.
“maaf,son. Mungkin aku agak telat atau
bahkan ga datang. Disini macet banget.”
Sonia tertawa getir. Rohnya seolah terbang
meninggalkan tubuhnya. HP mungil Sonia tergelincir dari tangannya menimpa lantai
basah yang bewarna merah kekuningan. Air matanya membasahi pipinya. Wedges
cokelatnya tak mampu menopang tubuhnya. Sonia rubuh.
“aku kecewa banget,Yud..” setelah itu tak
ada satu halpun yang diingat oleh Sonia.
Sonia terbangun disebuah tempat, yang sangat
ia kenal. Tapi, sialnya ia lupa tempat itu.
“Yu..dha” Sonia mengucap terbata. Tak ada
yang menyahut. Tapi, tangan kiri Sonia terasa berat. Ada Yudha disana. Ia
tertidur nyenyak.
“Yudha..” Sonia menggerak-gerakkan
tangannya. Yudha tersentak.
***
Hari itu, hari pernikahan Lima dan Ara,
acaranya di adakan di sebuah hotel di daerah Jakarta Pusat. Lima menggunakan
jas hitam dan dasi merah maroon yang senada dengan dress maroonnya yang
cantik. Mereka terlihat sangat serasi..
***
Diwaktu yang sama, di sebuah rumah sakit
di Singapura, sebuah suara bayi menggema. Icha tersenyum sambil menatap lembut
bayi itu. Bobotnya 3,5 kg dengan tinggi 37 cm. “Dia cantik seperti kamu.” Puji
Andre.
“kamu ga takut diketawain lagi kan,Sya?”
Tanya Andre.
“I’m proud to be me.”
“namanya, Rea Prischilla. agar ia
bertumbuh menjadi gadis yang kuat dan cantik.” Ujar Alisya mantab.
***
“akhirnya.. Selamat,ya,kak..” Ujar Salma
yang kebetulan hari itu sedang berlibur di Canberra
“Yudha, pasti seneng banget..” Segera
Salma menelpon Yudha, Yudha mengangkatnya
“Hallo,Yudh! Ini aku, Sonia. Aku positive
hamil.”Suara Yudha terdengar sangat bahagia. Akhirnyaa....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar