Jumat, 12 Januari 2018

st*r!



st*r!


1. Namanya aliysia sugianto, usia 15 tahun. Tinggi 165 cm, kelas 1 SMA di sebuah SMAN di tebet. Punya sahabat namanya Sonia. Cita-cita jadi novelis terkenal. Takut diketawain. Dulu senang dance dan basket. Tapi, sesuatu hal membuatku menjauhi dua hal tersebut..sejak mama-papanya Icha cerai, Icha tinggal bareng mamanya disebuah komplek perumahan di daerah Tebet. Icha suka ngomong tapi palaing malas ngomongin dirinya sendiri. banyak hal yang berkecambuk dipikiran Icha, tapi tak satupun menjadi kenyataan. Hanya mimpi,begitulah Icha berkomentar tentang mimpi-mimpi gilanya itu! Andai Icha punya sedikit keberanian for makes her dreams come true.. Icha punya satu cowok namanya Leo, kita LDR-an. Leo tinggal di Makassar. Tapi, udah 6 bulan kita ga saling kontak. Leo kamu kemana? aku kangen kamu.. aku sayang banget sama kamu. peri yang cantik dan baik.. sampaikan salam Icha untuk Leo yang ada di negri nun jauh disana ya…
--
Hari ini, lagi, Icha harus bangun pagi untuk kesekolah.
“ma, udah lah, aku ga usah sekolah lagi!”
“ga sekolah?!? mau jadi apa kamu nanti?” mama senewen sendiri
“ya abis gimana? sekolahnya horror!” Ujarku sambil tersenyum menampakkan gigi taringku yang ukurannya lumayan, yah kau tau? besar!
horror? horror gimana?” mama tak menghiraukan gigi ku yang terbilang besar itu.
“ya.. horror.. ya gitu.. masa mama ga tau sih?”
“gurunya makan kamu?” aku menggeleng.
“temen kamu perutnya bolong?” aku menggeleng
“tukang kantinnya suka ngesot?” aku menggeleng lebih keras
“kepala sekolah kamu gigi taringnya lebih gede dari kamu?”
“iiiih!! mama! jangan bawa-bawa gigi! sensitive nih!! Ya maksud aku horrornya ga kayak di film! ini horror yang.. benar-benar horror!”
“aduh,cha! mama capek! mama masih mau kerja! kamu sekolah aja sana! semester depan kamu pindah sekolah! puas!”
“banget mah!”
aku pergi meninggalkan mama dengan persaan sumringah. akhirnya bisa juga pindah..
sesampainya disekolah. Aku sadar apa yang selama ini kutakuti dari sekolah ini. Aku takut ditertawakan saat aku bernyanyi dengan suaraku yang tidak lebih indah dari bebek yang terkena serangan jantung. Aku juga takut dan Iri melihat temanku yang diantar oleh kedua orang tunya dengan kendaraan pribadi! Mengapa orang tuaku -maksudku mama- tak membeli kendaraan pribadi. motor kek. apa kek. Dan terlebih.. mengapa mama dan papa harus berpisah? Tuhaaan!
akhirnya aku melangkahkan kaki ku dengan gontai hingga sampailah dikelasku. aku duduk disana dengan  perasaan sepi. Teringat masa-masa saat papa dan mama masih bersatu dan kemi berlibur ke Lombok atau Singapura dulu.. Rindu rasanya. Teringat pula saat mama dan papa bertengkar. Kala itu aku tak tahu karena apa. Tapi, sekarang aku sudah tahu. Cap Lipstick, Parfum peremupan, Lembur, Keluar kota dan segala hal yang tak masuk diakal diucapkan papa. Hingga akhirnya dia datang.. iya.. dia.. orang yang sangat kubenci! usianya bahkan hanya 10 tahun lebih tua dari ku! Namanya, nama yang sangat tidak ingin kusebut.. Muti! tapi aku lebih suka memanggilnya dengan kata-kata hujatan! seperti semua benda berkaki empat yang ada di kebun binatang atau di hutan rimba sana! Atau memanggilnya dengan segala hal yang kau temui saat sakit perut! Atau apalah.. Dia datang dengan seorang bayi yang jujur sama sekali tidak lucu! Dia bilang bayinya lelaki. Lalu mengapa bedongnya warna pink? kurasa si Kambing Bekicot Muti itu ingin anaknya menjadi lelaki yang suka mampir di taman lawang! Jujur, aku sangat jijik melihatnya! Kalau kau tanya bagaimana tampangnya saat itu... aku akan menjawab..
“MPOK ATIEK BAHKAN LEBIH CANTIK DAN MULUS!”
matanya jelek seperti kelelawar. Kau tau? matanya sangat besar!! Seolah ingin menerkam.. Tubuhnya sangat kurus! Aku curiga dia akan terbang bila terkena angin kencang! Giginya besar-besar! Rambutnya hampir gimbal tak terurus. Hanya lebih bagus sedikit. Jujur, walau saat itu usiaku masih 11 tahun, Aku meludahi muka anaknya -jangan ditiru dirumah- Dan sontak si lelaki biadab yang tidak pantas di panggil ayah itu memarahi ku. JIJIK!
“MATILAH KAU!! LIHAT PEMBALASAN KU NANTI!!!!!!” pekik ku. dia bahkan ingin memukul ku dengan ikat pinggangnya yang sangat besar.
“SETAN! KELUARLAH!” pekikan kali ini lebih keras! bahkan aku menyertakan ayat kursi didalamnya!
“kamu yang setan!” si wanita yang enggan kusebutkan namanya itu menyumpahi ku.
“TAK ADA SATU MANUSIA PUN YANG MEMBAWA TUYUL KERUMAH KU! PERGI KALIAN! SAMPAH!” kali ini emosi mama sudah memuncak. Baru kali ini aku melihat mama semarah itu!
“kau mengusir ku?” si lelaki biadap itu bicara dengan percaya dirinya.
“iya. mengapa kau tak suka?!”
“aku masih suami mu! dan apa hak mu mengusirku!”
“ini rumahku! warisan orang tua ku! dan mulai hari ini kau KUPECAT DENGAN TIDAK TERHORMAT sebagai DIREKTUR di PERUSAHAAN AYAHKU!”
“tapi aku masih suami mu!”
dengan sigap mama memencet HPnya dan menekan nomor antah barantah. seseorang disana mengangkat, suaranya berat, seperti suara lelaki. Mama mesangan loudsspeaker agar semua orang di ruangan itu dengar.
“IYA ,PAK! SAYA IGIN MELAYANGKAN GUGATAN CERAI PADA SUAMI SAYA/”
“ALASANNYA BU?”
“DIA SELINGKUH DAN SUDAH MENIKAH LAGI.”
“BAIK BU, HARI INI JUGA SAYA KERUMAH IBU MEMINTA KONFIRMASI YA.”
“YA SAYA TUNGGU!”
tet. telpon itu terputus.
“puas kamu?”
“dasar wanita kurang ajar!”
“kurang ajar mana sama kamu? kurang ajar mana sama wanita jalang dan laknat ini? hah!”
“heh! bodoh! kalau kamu meminta cerai dari ku sama saja kamu membiarkan anakmmu anak perempuan mu ini tidak punya kasih sayang dari figur seorang ayah!”
“lebih baik begitu! dari pada ia ketularan laknat seperti wanita ini!”
“biarin lisya ga punya ayah dari pada punya mama dua dan satunya tante girang!”
“kurang ajar kamu bilang istriku tante girang? mama mu yang tante girang!”
“ah! maca? kalau mama ku tante girang kok kamu ga mau di ceraikan? kok kamu masih ada disini?” aku yang saat itu masih berumur 11 tahun pun tak segan memarahinya. Mau durhaka kek mau apa kek! bodoamat lah
‘pak’ sebuah tamparan terkena tepat di pipiku. Entah apa, atau kenapa. Tak ada rasa sakit apapun disitu, sudah mati rasa. Kurasa. Tak ada satupatah kata pun yang mampu ku alirkan dari bibirku ini. Hanya ada kebencian,kebencian,kebencian,dan kebencian
“MATILAH KAU LAKNAT”
aku sama sekali tak tau apa arti kata laknat. Tapi, mendengarnya saja sudah membuatku cukup tahu kalau kata-kata itu sebenarnya tidak cukup sopan untuk diucapkan. Tapi, kalau aku jadi ibu, kurasa aku tetap akan mengucapkan hal yang sama.. Kurasa.
Aku tak mau berkata apa-apa lagi, tak mau mendengar apapun lagi. Hanya satu hal yang ingin kulakukan.. Pergi.
Air mata menetes disetiap langkah yang kulalui. Terdengar suara ibu samar-sama memanggilku. Tak ku hiraukan, tak ada rasa sakit di hati ini. seperti yang tadi ku bilang, sudah mati rasa. Mereka terus bertengkar dan bertengkar, aku berlari sampai ke lantai dua, kamar. Kubenamkan wajahku di tumpukan bantal.
hanya itu yang kuingat jika ada seseorang yang bertanya tentang dia. Aku sendiri tak tau mengapa aku bisa lupa tentangnya. Antara tak mau tahu dan memang benar-benar lupa.

2. “apakabar,cha? Kamu  sehat?”
Tiba-tiba saja sebuah SMS masuk ke HPku. Dari nomor yang tidak kukenal. Siapa? Sejenak kubaca  pesan itu. Lagi.
Aku bertanya-tanya dalam hati. Siapa sih yang ngirim SMS tanpa pengirim gini?
“ma, mama tau enggak ini nomor HP-nya siapa?” tanyaku pada mama.
“ga tau nak. Engga ada di daftar kontak mama nih.” Ujar mama sembari mengecek nomor-nomor yang tertera dihapenya.
Akhirnya setelah mengumpulkan keberanian akupun mengirim SMS pada si orang tanpa nama ini.
“ini siapa?” Aku pun memencet tombol send. Tiba-tiba saja seperti ada serangan diperutku ini. Aku meninggalkan HPku diatas tempat tidur dan berlari menuju kamar mandi.
15 menit telah berlalu. Aku mengecek HPku lagi. Belum ada balasan. Ah,sudahlah untuk apa aku memikirkan SMS macam ini? Paling hanya salah satu temanku yang iseng.
Malam itu, aku memilih mendaratkan tubuh ku ke atas spring bedku yang empuk dan terlelap disana.
Pagi itu..
Sebuah alarm berbunyi di kamar Icha. Beberapa kali berbunyi. Tapi, tak satu orang pun yang menyahut. Mama yang geram mendengar bunyi alarm itu segera beranjak dari meja makan ke kamar Icha.
“kemana sih anak itu? udah jam enam tiga puluh belum ada tanda-tanda kehidupan juga.” Mama menaiki anak tangga dengan derap langkah yang cepat karena amarah yang berapi-api.
“cha,icha! Bangun! Hey! Sudah siang!” gerutu mama sambil mengetuki pintu yang kian hari ini kian keras. Tapi, sekeras apapun mama mengetuk pintu tetap tak ada jawaban dari putri semata wayangnya itu. kali ini kesabaran mama sudah habis. Wanita paruh baya itu menerobos masuk ke kamar putrinya itu dan menemui Icha sudah terbujur tak bergerak disitu.
“Icha.. kamu kenapa?” tanya mama bingung sambil menggoyang-goyang tubuh Icha yang masih belum menunjukan tanda-tanda kehidupan.
“cha, Icha!!” mama kali ini meraung-raung
“Icha.. astagfirullah.. tubuh kamu panas banget cha! Kamu kenapa?” mama segera mengeluarkan hapenya yang ia letakkan di kantung bajunya.
“halo dokter.. iya ini saya bu Lina… ini dok,anak saya Icha badannya panas bukan main. Bisa dokter kesini?? Iya..iya.. masih di rumah yang dulu di tebet timur. Iya dok, saya tunggu ya.” Ujar mama tersipu-sipu seolah tak sempat mengambil napas sedikit pun.
Sekitar 30 menit kemudian. dr. Rangga, dokter langganan keluarga kami, dr. yang tadi mama telpon sampai. Ia memeriksa tubuh ku. Memukul pelan perutku.
“oh, ini gapapa kok bu. Cuma mag dan demam aja.” Jawab dokter itu santai.
“terus kenapa tadi anak saya kayak sesak napas?”
“oh, itu paling mau flu. AC-nya kalau bisa dimatikan,ya,bu.” Ujarnya sambil melirik kearah AC yang ada di sudut kiri kamarku.
“oh,iya,baik dok.”jawab mama lembut.
Dokter Rangga pun memberikan mama secarik kertas berisi daftar obat yang harus mama tebus di apotik. Tak berapa lama, mama pun datang membawa mangkuk, yang –kurasa—berisi makanan.
“ini, makan dulu buburnya ya. Mama mau ke apotik situ dulu.” Jawab mama sambil menyodorkan mangkuk berisi bubur ayam instant padaku. Aku mencoba duduk dari posisiku yang memang sejak tadi terkulai diatas kasur. Aku memakan bubur itu sesendok demi sesendok sambil sesekali meniup bubur yang panas itu.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, mama datang membawa beberapa obat. Kurasa ada antibiotic,paracetamol,dan CTM di dalamnya. Oh Tuhan. Mengapa aku harus sakit? Bukankah hari ini aku ada ulangan fisika yang super rumit itu? bukankah hari ini juga ada pelajaran akutansi yang kusukai yang hanya hadir satu kali dalam seminggu? Aku boleh sakit, kapanpun asal jangan di hari rabu yang indah ini..
Mungkin, hari terbaik untuk sakit adalah selasa. Di hari selasa buku-buku terasa berat untuk diangkat, karena kedua pelajaran dengan buku setebal 250 halaman – ipa dan bahasa Indonesia – ada dihari selasa. Di hari selasa juga ada pelajaran olahraga yang sangat tidak kusukai karena aku sangat tidak menguasai pelajaran itu. apalagi basket, uh, tidak lagi. Lompat,lari,dan segala hal tentang basket seolah memenjarakanku. Beda halnya dengan putri yang jago main basket, ikut ekskul basket, dan menjuarai berbagai turnamen basket tingkat SMA. Andai aku bisa seperti dia, sayang dia sangat sombong. Beberapa kali aku minta diajari main basket tapi dia selalu berkata “tidak ada waktu” memang apa yang dia lakukan selain belajar sepertiku? Voli lagi.. saat aku harus memukul bola bulat itu serasa tiba-tiba ada yang meraih tanganku dan menghentikannya. Aku jadi tidak bisa memukul bola besar itu, bedahalnya dengan Melti, anak itu memang lebih buruk dariku dalam hal akademik. Tapi, kalau olahraga.. jangan ditanya! Dia jago sekali. Angka 9 sangat sering dia dapat. Apalagi pada saat voli. Mungkin, kalau saja aku hanya tidak bisa berolahraga aku cukup sabar. Tapi, satu hal, mengapa teman-temanku menertawakan kegagalanku? Are they perfect? I think.. NO! lalu apa? Mereka ingin membuatku minder. Mereka bahkan tidak mengerti rasa sakit yang sudah kurasakan selama ini. Kurasa, perpisahan kedua orang tuaku dan ekonomi keluarga kami yang paspasan sudah cukup membelenggu leher ini. Tak perlulah mereka menambahi masalah hidup ini.
“cha! Woy! Nape lu?” tiba-tiba ada suara yang membuyarkan lamunanku. Sonia rupanya.
“hah? Sonia? Kamu kok bisa ada disini?” tanyaku tak percaya
“udah pulang.” Jawabnya acuh tak acuh
“loh ini kan masih..”
“jam sebelas? Guru-guru rapat. Biasaaa..” potongnya cepat.
“oh.. ”
“oh,ya,cha. Lo takut diketawain kan?” tanya Sonia cepat. Pertanyaan yang membuatku kaget.
“maksudnya?”

“iya, maksud gue, kalau lo ga bisa melakukan sesuatu. Trus lo diketawain kayak ada bagian diri lo yang rontok kan?”
“mm,”
“udahlah, ngaku aje. Kayak kita baru kenal aja. Dari zaman lo ingusan sampe zaman lo jadian sama si Leo kunyuk itu, sampai sekarang gue udah kenal lo kan?”
“sst..”
“oh iya, lo sama dia backstreet  ya? Udahlah nyokab lo udah pergi. Tadi begitu nyokab lo liat gue dateng dia nitipin lo sama gue. katanya paling jam 3 udah pulang. Ntar jam dua juga tukang cuci lo dateng. Lo udah gede dititip titipin sama gue. dikira gue penitipan anak kali ya? Kenapa lo ga ditaro di playgroup depan komplek aje?”
Aku tertawa.pahit.
“oh iya, laptop lo mana?”
“itu.” jawabku sambil menunjuk kearah laci meja yang ada disebelah tempat tidurku.
“eh,nih,HP  lo. Ada sms masuk. Dari nomor tidak dikenal.”
“apa isinya?” tanyaku jawabku lemah.
“kok ga dibalas sms ku semalam?” Sonia membacakan SMS yang masuk HPku itu.
“belakangnya berapa?”
“34.”
“ooh. Itu sih. Coba kamu save deh,Son. Simpen aja namanya ‘GHOST’”
“hah? Hantu ngeri amat!?!” Sonia mendelik
“udah. Cepet.”
Sonia lalu meraih laptopku yang masih ada di laci meja kecil itu. lalu menghidupkannya dan asyik mengklik aneka tombol di laptop mungil itu, sambil sesekali mengklik BBnya
“ada wifii kan dirumah lo?”
“kalau udah dibayar sih ada.” Jawabku sambil nyengir.
“nah ini dia dapat.”
Tentu tak ada orang yang ingin jadi bahan olok-olok. Namun, bila Anda selalu ketakutan akan ditertawakan hingga kerap menghindar saat orang lain tengah bercanda, boleh jadi Anda mengidap gelotophobia.
Takut berlebihan akan ditertawakan orang lain termasuk dalam kelainan yang disebutgelotophobia. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, gelos, yang berarti tertawa, danphobos yang artinya takut.
Fobia ini pertama kali dibahas di Spanyol dalam acara International Summer School and Symposium on Humour and Laughter: Theory, Research and Applicationss.
Baru-baru ini para peneliti mencoba mengevaluasi rasa takut akan ditertawakan tersebut pada berbagai budaya masyarakat. Para peneliti dari Universitas Zurich, Swiss, bekerja sama dengan peneliti dari 73 negara menyebarkan kuesioner kepada 22.620 orang yang diterjemahkan dalam 42 bahasa untuk mencari tahu seperti apakah kelainan gelotophobia.
Menurut para ahli, dalam rasa takut ditertawakan, ada dua golongan alasan. Pertama, mereka yang takut ditertawakan sebagai “reaksi perasaan tidak aman” yang mencoba menyembunyikan rasa kurang pede-nya dari orang lain atau percaya bahwa tidak ada hal lucu yang perlu ditertawakan.
Kedua, “reaksi penghindaran”, yang selalu menghindari situasi serupa di tempat ia pernah ditertawakan. Ketakutan orang dalam kelompok ini bisa berskala rendah hingga tinggi. Mereka juga selalu dihantui curiga bahwa orang lain sedang menertawakannya.
Meski gelotophobia bisa ditemukan di semua budaya, ada beberapa perbedaan yang tampak. Misalnya saja, orang dari negara Turkmenistan dan Kamboja rata-rata masuk dalam kelompok pertama atau “reaksi rasa tidak nyaman”. Sementara itu, orang-orang di Irak, Mesir, dan Jordania cenderung menghindari situasi yang membuat mereka akan ditertawakan.
Sementara itu, orang di Finlandia percaya, bila orang lain sedang tertawa, mereka menertawakan dirinya. Sebanyak 80 persen orang di Thailand juga punya kecurigaan yang sama.
“Orang menertawakan orang lain karena beragam alasan. Hal ini bisa menimbulkan respons takut pada seseorang sehingga ia selalu menghindari situasi yang mengarah pada candaan. Hal ini tentu akan berdampak pada kehidupan sosialnya,” kata Victor Rubio, psikolog dari Autonomous University, Madrid, Spanyol.”(dikutip dari web surat kabar nasiolal)
“kamu dapat dari mana,Son??” tanyaku pada Sonia.
“internet.. Biasa.. hahahaha” Sonia tertawa bangga padaku, menampakkan pagar-pagar yang menaungi giginya itu.
“oh.. oh,ya behelmu ganti warna ya?” tanya ku lugu
“begitulah. Ngomong-ngomong gue mau ke belakang dulu ya.”
“ngapain?” tanyaku bingung.
“biasa.. makan.. sok lugu lo!”
Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Sonia yang memiliki prinsip ‘Tiada waktu tanpa makan.’
Sonia melenggang dengan santai. Tapi, tunggu..
“Son, bentar deh. Kayaknya rok putih kamu kook..”
“nape?”
“kamu dapet ya?” tanya ku bingung
“kaga ah…”
“trus itu?” Sonia berlari ke arah kaca yang ada di dekat pintu kamarku.
“AAAAAAAA! Icha!! Oh my God!! Blood!! Aah! Celana mana! Celana lo mana! Pembalut mana! Pembalut!” seru Sonia. Seketika rumah yang sepi ini berubah jadi ramai bak pasar malam.
“nih pembalut 35 cm with wing punya mama aku. Ini celana pendek ku, warna hitam supaya ga gampang jorok.”ujar ku sambil menyodorkan pembalut berbukungkus plastic biru ukuran super dan celana pendek ku yang sudah sering dipinjem sama Sonia.
“yee, celana nya ini mulu, ga ada yang laen?”
Aku menggeleng cepat. Sonia berlalu menuju kamar mandi yang ada dikamarku juga. Sekitar 5 menit disana. Sonia keluar dengan celana yang kuberi pinjam tadi. Dan kaus merah yang kurasa memang sudah dia bawa dari rumah.
“oh ya, cha. Tadi gue duduk di bed lo emang ga tembus?” tanya Sonia sambil nyengir.
“engga. Kamu ngedudukin tas kamu sendiri.. hahahaha” seru ku sambil menunjukan tas putih Sonia yang sudah menjadi warna putih merah seperti bendera Indonesia –atau seragam SD ya?- Sonia tertawa, tapi bukan tertawa senang. Tapi tertawa kecut. Pukul 2 siang, mbak Inah, tukang cuci rumah ku datang. Aku menyodorkan beberapa baju kotor, Sambil mengantar Sonia kebawah. Mengambil makanan dan segelintir minuman.
“jangan sering-sering ke sini ya,Son.” Ujar ku dengan ekspresi datar.
“kenapa?” tanya Sonia khawatir.
“bisa bangkrut aku.” Kami tertawa bersama
--
“oh,ya, cha. Leo apa kabar?” tanya Sonia pagi itu sesampainya aku disekolah.
“ga tau! Dan ga mau tau!” jawabku ketus.
“lo sama Leo kenapa sih? Putus enggak. Tapi, SMS-an ga pernah.”
“bukan ga pernah SMS-an,Son! kamusalah! Tapi, dia yang ga pernah balas SMSku! tiap hari aku nge- SMS dia. Sampai pulsaku cekak terus. kamu kira pulsa ku bisa abis gitu aja? Kamu kira tuyul demen pulsa? Engga,Son! Engga! Aku cape,son.” Ucapku panas. Sambil menunjukan daftar SMS yang menumpuk di hapeku.
“ga gentle banget sih,si Leo.” Gentian Sonia yang senewen.
“entah lah.” Jawabku tak ingin memperbincangkan Leo.Lagi.
Siang itu, jam istirahat aku dan Sonia segera meluncur ke kantin.
“loh..loh..loh.. kok rame banget? Ga biasa-biasanya nih kayak gini..” ujar ku bingung melihat kondisi kantin yang sebegini ramainya.
“son, kamu bingung engga liat kondisi kantin kita hari ini?” ujar ku sambil menoleh kea rah Sonia. Tapi.. tunggu dulu. Mana anak itu? ku lihat sekeliling dan mendapati Sonia sedang antri di warung jus mbak Mira. Udah ngibrit duluan,rupanya.
“eh,Son, larinya kok cepet banget? Aku bingung tau nyariin kamu.”
“udah.. ntar aja. Lanjutin nyarinya. Nyari siapa sih? Leo?”
“arrggh! Leo terus! Pusing nih kepalaku dengar nama itu! jangan ucap lagi!”
“udah lah,Cha.. Lo mau pesen apa? Mumpung kantin kita lagi obral.” Ujar Sonia antusias.
“obral?” aku melongo. Kantin kecil begini bisa obral,toh. Kukira Cuma mall-mall besar yang ada disenayan yang harus ku pikirkan 25 kali untuk membeli barang-barang di mall itu, walau itu barang diskon sekalipun.
“iya.. lagi turun tuh. Khusus hari ini. Dari yang harganya ceban. Jadi Cuma tujuh setengah… woow ga?”
“hah? Pantesan ramai. Ya udah kamu antri aja deh. Aku udah bawa bekal,nih. Dari mamaku.” Ujarku sambil senyum menunjukan lunch box kotak bergambar hello kitty itu..
“lawak,lo. Anak SMA lunch boxnya model begini..” ujar Sonia sambil tertawa terbahak-bahak melihat Lunch box gambar doraemonku.
“udahlah.. cape aku ngomong sama kamu. Aku duduk dulu ya. Selama antri.” Ujar ku sambil melambai pada Sonia seolah putri Indonesia.
“dasar anak itu.” desis ku setelah Sonia jauh disana.
Sekitar delapan menit berlalu. Sonia datang membawa nampan penuh berisi, nasi,fried chiken,juice alpukat,dan jamur tiram.
“gimana bisa kurus,Son?” celetukku asal
“ya..abis gimana,non? Kan jarang-jarang.”
“mau obral ga obral sih kamu emang makan terus kerjaannya..” ujarku sambil memakan roti yang mama sediakan untukku.
“emang kenyang segitu rotinya,Cha. Adik gue aja si Gilbert 3 kali lipat dari itu porsinya.” Ujar Sonia senewen.
“pantes Gilbert melar..” kami tertawa bersama.
Siang itu, sepulang sekolah..
Sesosok lelaki bertubuh tegap, dengan tinggi sekitar 170 cm dan kumis tipisnya datang kesekolahku. Aku tak tau siapa dia, Tapi, tiba-tiba saja jantungku berdetak cepat, bulu kudukku berdiri, dan seolah otakku tiba-tiba berhenti.
“ICHA!”  ujar sebuah suara yang terdengar sangat parau. Icha menoleh, lelaki itu.. siapa dia?
“Icha.. Icha.. kamu apa kabar? Kok SMS ku ga pernah dibalas?” tanyanya cepat yang membuat Icha bertanya-tanya. SMS? Dia siapa? SMS apa? Icha bingung setengah mati. Tiba-tiba Sonia datang dari arah pos satpam, dan melakukan hal yang sama seperti Icha. Bengong.
“hai.. Sonia. Udah lama ya kita ga ketemu.” Ujar pria itu, PD kalau Sonia akan mengenalinya. Tapi, Sonia hanya melongo.
“hai, kalian bingung ya.. masa kalian lupa sih sama aku?” ujar pria itu sambil mengibaskan tangannya didepan wajah Sonia dan Icha.
“hi, I’m Leo. Are you forgotten about me?” tanya Leo polos.
“Leo? How are you,bro? lo tau! Dari tadi.. kita ngomongin lo disekolah.. kangen setengah mampus tau..” ujar Sonia riang.
“kita? Cuma lo,Son!” ujar Icha kasar. Sonia tau temannya itu perasaannya sedang tidak bagus. Tidak biasanya Icha memakai kata elo-gue dalam setiap kalimat yang dia lontarkan
Lanjutnya, “ayo pulang.” Sambil menarik pergelangan tangan Sonia.
yub. I’m fine. Tks. You don’t get too proud,cha.” Ujar Leo datar.
“ntah lah. Aku sama sekali ga niat rebut,Son. Kamu mau ikut aku pulang atau engga?” kali ini raut muka Icha serius. Matanya mulai membesar dan lubang hidungnya kembangkempis. Tampak sekali Icha sedang marah, hal yang paling tidak bisa ditutupi Icha.
“hmm, kamu duluan aja,deh,cha. Aku pingin ngobrol bentar sama si Leo satu ini.” Ujar Sonia sambil nyengir. Icha melongo.
Dirumah..
“bingung banget kalau punya guru kayak bu Mel. Baik sih baik. Cantik sih juga. Tapi kalau ngasih PR ga nanggung.. bikin tangan mau copot.” Icha mengambil buku IPS nya dari dalam tas biru jeansnya yang bertuliskan ‘PROUD TO BE ICHA!’ yang tak lain tak bukan adalah oleh-oleh dari mamanya waktu ada kerjaan di negara tetangga,Singapura.
Setelah 20 dari 50 soal yang diberikan oleh bu Mel ia kerjakan selesai, bel berbunyi,
“tumben mama pulang cepet.” Ujar Icha sambil beranjak dari meja belajarnya.
Karena yakin itu mamanya, maka Icha sama sekali tidak mengintip terlebih dahulu. Dan, ternyata dugaan Icha meleser. Meleset jauh bahkan. Yang datang bukan mamanya, tapi sahabatnya yang telah berkhianat. Dan lelaki yang menggantun statusnya. Leo dan Sonia.
“ngapain kesini?” tanya Icha dingin.
“main aja,cha. Kenapa sih,lo?” tanya Sonia sok lugu
Tanpa dipersilahkan kedua orang itu masuk kerumah 2 tingkat mode minimalis itu
You don’t get too proud,cha.” Ujar Leo. Lagi.
“Leo, gue udah coba sabar ya kemarin. So, jangan pancing emosi gue. LAGI!” amarah Icha mulai tak tertahankan. seketika ruangan itu menjadi panas. seolah ada api yang menyala disana
“maksud lo? Why me make you angry?” tanya Leo tak mengerti.
“harus gitu gue jelasin.” Leo tak menjawab. Tapi tatapan matanya seolah meminta penjelasan.
“okay. Pertama, lo bilang gue ja-im? Apakah gue terlihat jaim? NO! and, gue butuh penjelasan kemana lo enam bulan terakhir ini? Gue SMS apa lo balas? Gue telpon kenapa lo tolak? JELASIN!” kali ini pitam Icha sudah memuncak. Ia tak bisa menahan amarahnya lagi.
“Listen, sorry kalau gue bilang lo jaim dan itu bikin lo tersinggung. Tapi, apa yang salah dengan kata jaim? Bukannya masa SMP lo biasa aja kalau gue bilang gitu? Kenapa lo berubah? Apa perasaan lo sehalus itu sekarang?” bertubi-tubi pertanyaan mengalir dari mulut Leo, pertanyaan itu malah lebih mirip kecaman
“gue ga akan jawab pertanyaan lo sebelum lo jawab pertanyaan gue!”
“okey, gue ganti nomr. Puas?”
“lo ganti nomor. Terus siapa yang matiin telpon gue kalau bukan elo?”
“mana gue tau.”
“okey. but, kemana selama ini lo?”
canberra. gue sekolah disana. Puas?”
“bukannya lo bilang lo ke Makassar?” kali ini nada bicara Icha sudah mulai rendah.
“ya, gue memang pindah kesana. Tapi ga sampai setahun, setengah tahun pun enggak. Cuma sekita 5 bulan. Bokap gue kena serangan jantung! Dan, persediaan uang di Indonesia ga akan cukup kalau gue dan nyokab gue terus-terusan maksa tetap tinggal di Makassar! ”
“Terus, kenapa lo ga ngirimin gue e-mail lagi?”
“Sorry. Gue ga mau ngasih lo harapan palsu, kalau gue terus ngirimin lo e-mail gue takut lo tetap berharap gue balik. Gue bahkan benci sama diri gue sendiri yang membual sama orang yang paling gue sayang. LO!”
“trus kenapa sekarang lo balik?” pertanyaan Icha bahkan lebih mirip pernyataan.
“Gue ga nyangka bisa balik,Cha. plis ngertiin gue. Kalau ga karena kak Ika, anak tante Bogor mau nikah ga mungkin gue ke Indonesia lagi.”
“Acaranya di bogorkan? So, ngapain lo ke JAKARTA?” nada suara Icha kembali tinggi.
“Gue cuma pingin memberikan yang lo mau! Memperjelas status kita. Sekarang kita udah resmi bubar. So, lo bisa jadian sama siapapun yang lo mau!”
tiba-tiba seperti ada yang memukul punggu Icha, pelan-pelan lalu kencang kencang sekali. Hingga icha merasa kehilangan keseimbangannya. Dan terhempas ke lantai, ada air yang mengalir di pipinya. Ia menangis tersedu-sedu. Jelas Leo tak melihatnya. Leo telah pergi beberapa detik lalu, meninggalkan Icha dan serpihan hatinya.
“Cha, lo kenapa? Lo nangis? Bukannya ini yang lo mau? Kejelasan status lo?” tanya Sonia bingung.
Icha berdiri dari lantai
“iya,Son. gue emang nangis. Tapi, bukan karena meratapi apapun. Gue bahkan seneng banget. Sekarang gue udah bebas” ujarku sambil tersenyum pahit. dalam hati aku merintih. menangis histeris. aku memang menginginkan kejelasan hubunganku dengan Leo. Tapi, yang kumau adalah memperbaikinya bukan menghancurkannya.
“oh,ya,lo udah ngerjain tugasnya bu Mel belum?” tanya Icha mengalihkan bahan pembicaraan.
“OH iya! Belum!” Sonia terlihat shock dan langsung membuka tas donal bebeknya itu..
“liat dong caranya,Cha.” Sonia meraih buku yang ada ditanganku dengan sigap.
“oh,iya,Son. Satu hal yang ga ku mengerti dari kamu..”
“apa?” tanya Sonia masih sambil terus memperhatikan jawaban-jawaban soal ku.
“memang PR IPS pake cara hah?” aku menarik balik bukuku yang sudah dimonopoli oleh Sonia.
--
3. Sore keesokan harinya.
Saat Icha sedang menyelesaikan soal terakhir PR bu Mel, sebuah suara berkumandang dari arah depan
“kebiasaan banget sih Sonia. Ada bel dikira Cuma buat pajangan kali,ya?” Icha mendengus kesal. Sambil menuju pagar.
“Bel tuh! Bukan Cuma buat pajangan.”
“suka-suka dund! Bell lo aja yang pengen banget dipencet! “ ujar Sonia sambil menjulurkan lidahnya..
“hey, kamu inget ga siapa dia?” tanya Sonia sambil menunjukan foto usang.
Hmm, Icha berpikir keras, mengingat foto siapa yang ada didepan matanya.
“ARA!” seru Icha ceria.
“yub! And you know what? Are will come to Jakarta!
“yang bener lu,Son? Tau dari mana?” tanya Icha tak percaya.
“dia ngirim e-mail ke gue. nih, liat sendiri!” Sonia memperlihatkan e-mail yang ada di BBnya.
“Ara apa banget deh. Ngirim email ke elo. Padahal kan dulu yang CSnya dia itu gue.” Icha senewen sendiri.

“hahahaha, katanya dia lo jarang banget open e-mail. E-mailnya dia sebulan kemudian baru lo balas.”
“oh,ya,Son. Masuk yuk, ntar dikira lo nagih utang lagi ngetem didepan rumah gue..”
“ah, ga usah, Cha. Gue Cuma pingin ngabarin itu aja. Gue balik dulu ya.”
“tumben lo cepet balik, ga ngembat makanan gue lagi?”
“diet.” Sonia berbalik pulang. Icha melongo.
2 hari kemudian.
“hai, tan. Apa kabar?”
“sehat. Kamu gimana? Udah lama nih ga ke Jakarta.”
“iya, tan. Abis di California aku sibuk banget.”
“iya ,deh,yang udah jadi model. Kapan ya anak tante itu jadi model kayak kamu. Di amrik lagi.”
“kalau dia agak susah tuh tan. Abis gimana? Pemalu banget..”
“iya,tuh, sebenernya dia ketularan dari mamanya.”
“dulu tante pemalu”
“iya, hahahaha.. sekarang engga ya?”
“sekarang? Pd banget malah..”
“hahahaha, kamu bisa aja. Ngomong-ngomong kamu nginep di mana?”
“kalau ga di rumah Sonia paling di Hotel situ,tan.”
“duh, rumahnya Sonia kan ramai banget. Di sini aja, dari pada sewa hotel, mahal.”
“aku sih okeoke aja tan.”
“ya udah yuk..”
Ternyata Ara sudah sampai di Jakarta. Dan memilih menyambangi rumah Icha dulu sebelum kerumah Sonia. Sayang seribu sayang, Ichanya udah sekolah. Yang ada hanya tante cony dirumah.
“untung aku ke rumah Icha. Kalau kerumah Sonia.. bisa mati diri aku ketemu mamanya Sonia yang super jutek itu..”
Ara diantar kekamar tamu. Tante coni –mamanya Icha- pergi meninggalkan Ara sendiri. Ada meeting katanya, Ara sih okeoke aja –alias bodo amat-
Ara cukup senang ditawari nginap disini oleh tante Coni. Paling tidak ara tidak perlu kelaparan atau diam seperti kedelai dikamar jika dia tetap memilih menginap di rumah Sonia. Dan, dia bisa memelih clutch lucu yang ada di mall yang udah dia taksir dari beberapa hari lalu, karena uangnya tak jadi membayar biaya sewa hotel. Walau dia model, Ara adalah tipe orang penghemat –atau pelit?- penghasilannya yang hanya sekitar $900-US$1000 perbulan membuat dia harus memiliki pikiran panjang untuk membeli sebuah barang. Walau penghasilannya cukup besar, tapi banyak hal yang harus Ara bayar. Cicilan apartemen yang ada di kawasan kuningan –dia bahkan ga mau beli apartemen di amrik karna alasan mahal- ,membayar sewa apartemen di California, bayar uang sekolah –sejak kedua orang tuanya bercerai Ara menanggung sendiri biaya ini- di amrik yang jelas ga murah. Dan, beberapa barang yang diincar di mall..
Ara benar-benar merasa sumpek dirumah ini dan memilih internetan dengan fasilitas wifi yang tersedia.
“ntar jalan bareng Icha dan Sonia aja,ah. Nambahin duit dikin gapapalah. Daripada nanti gue nyasar.”
Sekitar satu jam Ara stalking timeline Sonia dan Icha tiba.
“hai, Girls.. gue udah kangen banget sama kalian.. J”
“iya.. kita juga kok,ra.”
“temen kita yang model ini udah balik toh dari California..” Sonia membuat gaya bicara sok cute layaknya anak kecil.
Ara dan Icha tertawa mendengar suara Sonia yang mengocok perut itu..
“Oh,iya,Son, pulang gih sana..” Ara menggerak-gerakkan tangannya seolah mengusir Sonia.
“ngusir,nih..??” tanya Sonia sambil menjulurkan bibir bawahnya sampai maju 50 meter –lebay-
“kalau udah memble tuh memble aja. Ga usah ditambah tambah memblenya!” Ara senewen sendiri melihat kelakuan temannya yang satu itu..
“gue ga ngusir lo kali,Son. Ntar kalau gue ngusir lo siapa lagi yang ngejar jambret di bus kota?” mereka tertawa mengingat masa SMP merah saat Sonia berlari dengan lincah mengejar penjambret yang mengambil dompet Ara di suatu bus kota..
“Lo mah, aib temennya aja yang diungkit-ungkit!”
“udah cepet pulang, ganti baju, terus balik lagi, bawa duit ya.. kita mau shopping!” ujar Ara santai.
“What? SHOPPING?!?!?” Sonia dan Icha teriak hampir bersamaan.
“Cuma shopping bukan ngangkat mayat kan? Kok heboh banget..” Ara terkekeh.
“tapi..” Sonia menggantung.
“ini… apa??” Ara menunjukan kertas-kertas bertuliskan nominal yang tidak sedikit.. 200 ribu.. 500 ribu
“VOUCHER?” Icha kaget setengah mati melihat belasan Voucher berkumpul ditangan temannya itu. Ara hanya mengannguk
“temen kita ini tetap shopaholic sejati ya…”  Sonia dan Ara nyengir berbarengan.
Sekitar satu setengah jam kemudian Ara,Icha,dan Sonia sampai disalah satu mall yang cukup terbilang mahal. Bukan yang di tebet,kuningan,atau senayan. MOI! Mall of Indonesia..
“astaga, perasaan deket deh. Kok sampai satu setengah jam gini?” Ara senewen ketika selesai menghitng waktu tempuh mereka dari rumah Icha ke MOI.
“membelah kemacetan Jakarta bukan hal yang mudah.” Icha terkekeh sendiri mendengar ucapannya.
Dua jam kemudian..
Ketiga murid yang masih berpredikat ‘pejuang putih abu-abu’ itu terduduk di sebuah gerai eskrim asal selandia baru dan menikmati eskrim disana.
“satu setengah jam membelah kemacetan. Dua jam menghabiskan vouher? Gokil lo,Ra!”
“gue? lo sama Icha juga sama-sama gokil kali!” Ara terkekeh..
Mereka ketawa bersama..
“kaki gue udah kronis ,nih. Balik,yuk.”
“ampun deh Icha. Baru seratus dua puluh menit jalan kaki lo udah kayak oma gue aja
…” Ara terkikik.
“enak aja. Oma lo Ijo banget,tau!” Icha senewen sendiri mendengar kakinya dibanding-bandingkan dengan kaki Omanya ara yang berumur 75 tahun dan gila jalan itu.. Tapi, karena Icha sudah menampakan wajah yang bikin siapapun yang melihatnya iba. Akhirnya mereka berdua pun pulang..
Sekitar pukul delapan malam, mereka sampai dirumah Icha.
“wuu.. macet banget..”
“abisan kita pulangnya jam pulang kerja sih,Ra.”
“iya.. sih. Tapi, untung lo nyuruh kita naik trans jakarta,Son. kalau enggak bangkrut deh gue tiga jam di taksi..”
“hahahaha, siapa dulu dong yang ngasih saran.. Sonia,gitu..” tersirat rasa bangga -dan sombong- didalam gaya bicaranya itu. Icha dan ara hanya geleng-geleng kepala
4.  “Ra, sebenernya lo ada apa ke Jakarta. Gue sama sekali ga nyangka.” Tiba-tiba saja pertanyaan itu mengalir dari mulut Icha. Tak tertahankan dan memang tak bisa ditahan. Disuatu minggu pagi yang indah saat mereka sedang asyik duduk-duduk di beranda rumah Icha
“gue, ga balik lagi ke California,cha.” Icha tampak terkejut mendengar pernyataan temannya itu.
“maksud lo?”
“iya,Cha. Sebenernya gue akan segera pindah ke Jakarta. Ini kan udah Mei,Cha. Kelas sebelas gue di Jakarta. Gue udah dapet Job disini. Jadi model, dan kayaknya gue juga akan wara wiri di tivi. Buat jadi MC.”
“kenapa pindah? Lo ga seneng di amrik?”
“gue seneng,. Banget malahan. Tapi, biaya hidup disana terlalu mahal. Gue juga ga punya teman akrab kayak lo dan Sonia,Cha.” Icha masih sulit mencerna kalimat – kalimat yang terlontar dan mengalir deras dari mulut sahabatnya itu.
“ada banyak rumah produksi yang udah ngajak gue gabung,Cha. Sedangkan di amrik, udah sepi.”
“terus lo ntar tinggal dimana?”
“apartemen gue. kuningan.”
“sama siapa? Ga disini aja?”
“sama pembantu paling. Ga usah lah, ntar ngerepotin.”
“engga kok..”
“maaf,Cha, gue ga bisa.” Icha tau betul sifat Ara yang keras kepala itu. kalau dari awal dia sudah bilang A maka sampai akhir dia akan terus begitu.
“menurut lo gue masuk SMA mana?” “SMA swasta yang ada di dekat cikini aja.”
“kenapa ga masuk ke SMA yang sama kayak lo dan Sonia.”
“karena gue akan pindah ke tempat itu.”
“lo mau pindah dari 26,Cha? Why? “
“gapapa. Gue cape aja. Nyokab juga udah setuju, banyak hal yang akan berubah..”
“Sonia,gimana?”
“dia udah tau,Ra. Tapi dia tetap di 26. Nyokapnya ga ngizinin dia pindah.”
Ara hanya menangguk mengerti dan tersenyum.
Tak terasa, Mei telah berlalu dan juni telah menyapa. Ara sedang di California, untuk menyampaikan sampai jumpa pada teman-temannya, mengambil barang-barangnya, dan membeli clutch incarannya yang tidak dijual di Indonesia.
Juni terasa begitu indah dan cepat, tak seorangpun teman sekolahnya yang akan tau perpindahan Icha –kecuali Sonia- dia merahasiakannya,
Hari yang ditunggu-tunggu pun terjadi.. perpindahan itu pun akhirnya terjadi. Icha benar-benar pindah bersatu dengan Ara, sayang, walau satu sekolah mereka tak bisa saling sharing. Ara mengambil jurusan IPS karena sekolahnya takut terbengkalai kalau masuk IPA. Icha masuk ipa-pastinya- karena nilai semester lalu mendukugnya, dengan sangat.
Tapi ada satu hal yang sama sekali tidak Ara mengerti tentang sahabatnya. Tingkah lakunya berubah sejak pindah dari 26. Icha seolah menjauh dari Ara. Dalam hati Ara bertanya-tanya apa kesalahannya samapai Icha menjauhinya. Tapi, Ara tak menanyakan itu, karena, Icha tetap membalas SMS dan mengangkat telpon dari Ara. Jadi buat apa?, pikirnya.
--
Sejak masuk ke SMA bunda kartini –SMA Icha dan Ara yang baru- banyak hal yang berubah dari diri sahabatnya, khususnya hal berpakaian.
Rambut panjang Icha kini menjadi pendek. Awalnya Ara kira Icha potong rambut, tapi ternyata tidak. Dia menggulung rambutnya dengan suatu alat antah barantah yang dibelinya seharga 25 ribu di suatu tempat yang antah barantah juga.
Icha kini pakai kaca mata, padahal dulu Icha memakai soft lens. Kacamatanya sama sekali ga stylish! ‘Kampungan’ begitulah orang-orang menyebutnya. Kacamata bewarna agak keemasan, belum lagi ada tali yang mengikat kacamata itu. seperti kacamata professor yang ada di TV atau serial kartun anak-anak.
Kini icha memakai kaus kaki super tinggi hingga ia tampak seperti seorang pemain bola. Dan, Ara tak pernah berhenti terkikik melihat kaki sahabatnya itu..
Roknya superpanjang, kejar-kejaran dengan kaus kakinya, tak sedikitpun betisnya keliatan.
Kini, Icha jarang kelihatan sewaktu istirahat, dia sibuk membaca diperpus, kalau yang satu ini Ara mengacungkan 5 jempol untuk sahabatnya -berhubung jempol Ara Cuma 4, maka Ara sering minjam jempol Sonia-
Pokoknya Ara tak habis pikir dengan kelakuan dan gaya berpakaian temannya itu yang berubah seratus delapan puluh derajat!
Kini, Icha ikut ekskul mading yang peminatnya paling sedikit diantara ekskul lainnya. Padahal dulu setahu Ara temannya ikut ekskul yang digemari murid popular, seperti basket atau dance. Sejak masuk kesekolah baru ini, Ara dan Icha jarang mengobrol, Icha seperti jaga jarak pada sahabatnya itu.
Ara tak bisa berkata apa-apa  ia tak mau memaksa kan kehendak supaya sahabatnya bicara banyak. Tapi, satu hal yang paling bikin Ara sebal pada Icha. HP barunya.
Awalnya Ara sangat senang begitu mendengar Icha beli HP baru. Ara kira Icha membeli BB atau smartphone apalah. Tapi, ternyata… Icha membeli sebuah hape CDMA keluaan tahun kapan. Dan itu seken! Hape itu malah ga bisa balas SMS Cuma bisa baca. Telpon pun harus pake loudspeaker kalau enggak.. suara si penelepon ga bakal kedengeran!
“Icha gila.” Cuma itu yang bisa dimuntahkan dari mulut Ara kalau ditanya tentang sahabatnya itu.
Sonia hanya geleng-geleng kepala,malah. Ckckckck
Dan, Icha masih bisa senyum simpul? Terlalu!
--
Suatu pagi yang indah di bulan September, Icha terbangun mendengar ada bunyi riuh diluar. Icha membuka pintu kamarnya yang ada di lantai dua, dan tak menemukan siapapun disitu.
“mungkin hanya mimpi” Icha berbicara pada dirinya sendiri..
Icha kembali menghempaskan tubuhnya ketempat tidur. Tapi, saat ia hampir menemukan kenyeyakan dalam tidurnya, suara riuh kembali terdengar.
“siapa sih?” Icha jadi senewen mendengar suara riuh yang mengganggu tidur panjangnya di hari minggu.
Icha masih memakai kimono –oleh oleh mamanya dari jepang beberapa waktu lalu-, rambutnya belum disisir, kena air pun belum. Icha keluar dari kamarnya, perlahan dia mengintip dari lantai 2, dan menemukan keluarga besarnya ada disana!!!
“Icha.. Icha.. turun,nak.” Tante Wica memanggil Icha berulang-ulang setelah mendapati anak itu bengong di lantai dua.
“what? Ada apa rame banget gini?” Icha melongo melihat pemandangan tak biasa itu.
Dengan cepat, Icha ngibrit ke kamar mandi. Dan, turun dengan kaus pink bertuliskan SPAM GIRL! Dan rok selutut dengan bahan semi denim menghiasi kakinya. Tak ketinggalan bandana cantik bewarna senada –pink- menghiasi kepala Icha. Dengan sigap Icha menuruni anak tang itu. tak ada satu anak tangga pun yang terlewat, hingga sampailah ia di lantai satu.
“wah Icha, masih jam segini udah cantik aja.” Puji fuji saudara sepupu Icha yang keturunan Chinese.
Icha menunduk menutupi pipinya yang sudah bersemu merah..
“makan dulu,yuk” tante Kia –mamanya fuji- mengajak kami berkumpul di meja makan berbentuk bundar terbuat dari kayu jati, yang special mama pesan untuk kado ultahku yang ke 13.
“mama mana,tan?” tanyaku bingung karena tak mendapati mama disudut manapun.
Tiba-tiba saja raut muka tante Wica berubah jadi pilu mendengar pertanyaanku.
“Cony dirumah sakit,Cha.” Seketika tubuh Icha rubuh, Icha pingsan.
Icha tersadar disebuah ruangan, ruangan yang sangat ia sayangi dan kenali. Kamarnya. hanya ada Fuji disana
“kamu udah sadar,Cha?” Fuji kelihatan sumringah begitu melihat Icha sudah sadar.
“mama kenapi,Ji?” Icha menampakan senyum khawatir.
“hahahaha„ Icha, Icha. Kamu sih main pingsan pingsan aja. Emang kamu tau tante lagi ngapain diRS?” Fuji terkikik melihat sepupunya itu.
“emang ngapain,Ji?”
“check up kesehatan ,doang. Hahahaha Padahal tadi mama Cuma mau ngerjain kamu,lho,Cha. Tapi, kamu pingsan duluan.. yah.. hahaha..” Icha melongo.
Hari ini hari senin, Icha pergi ke sekolah tanpa sarapan. Udah hampir telat. Abis gimana dia bangun jam 6. Padahal rumahnya jauh dari sekolah. Dan, kita semua tau.. membelah kemacetan jakarta bukanlah hal mudah.
Sepersekian detik sebelum gerbang ditutup Icha sampai sekolah. Akhirnya…
Jam pertama, dimulai dari pelajaran Kimia. Ada ulangan dadakan,
“untung gue udah belajar..” batin Icha.
Soalnya ada 25 dan pilihan ganda semua. Dengan yakin Icha menjawab semua pertanyaan. Dan sepersekian detik sebelum ia berhasil mengerjakan soal no 25. Bell berbunyi.
“what! Gue masih nomor 24, gimana ini…” Icha bingung melihat kertas ulangan. Dan dengan berat hati Icha pun pengumpul kertas ulangan dengan 24 jawaban itu.
Di jam pelajaran kedua. Ada yang datang, tampaknya ia kenal. Tapi, Icha yakin cowok itu ga sekelas sama dia.
“hai, nama saya Andre.”
Haa! ANDRE! Temen SD gue yang ingusan! Sialan… kok dia sekarang cakep banget kayak pangeran? Padahal kan dulu jeleknya nauzubila bin zalik! Kemana ingusnya yang biasanya bersliweran di hidungnya itu? kemana?!?
Andre masih asik memperkenal kan diri di depan kelas, sementara Icha memasukkan tangannya ke dalam laci meja dan meng-SMS ara.
“Ara!! Gawat! Lo inget Andre temen SD kita yang ingusan dulu? Dia ada disini! Cakep lagi! AAAA!”
Disekolah yang sama di kelas lain, sebuah hape bergetar. HP Ara. Ara yang membaca pesan dari Icha tersebut langsung shock! Ga mungkin siAndre masuk sini..
“lo jangan becanda deh,Cha!”
“idih! Gue ga becanda!”
“coba, lo tanya dulu! Apa dia bener Andre kita yang dulu atau bukan!”
“oke. Ntar istirahat temui gue diperpus yak!”
“sip..”
Entah keberuntungan apa lagi yang mendatangi Icha, Andre duduk disebelahnya! Sekali lagi DISEBELAHNYA!
“hai, Icha.” Tanpa basa basi, icha menjulurkan tangannya pada Andre.
“Andre. Bandung!”
‘kan bener! Andre tuh dulu pindah ke bandung! Pasti ini si Andre ingus’ batin Icha.
“Lo mau ga jadi cowok gue!” tiba-tiba kata-kata itu keluar dari mulut Icha tanpa ada rem atau apapun.
“hah?” Andre tanpak shock.
‘aduh„ kok gue PD banget!’ tiba-tiba seluruh mata tertuju pada mereka berdua yang duduk bersisian.
Tiba-tiba secara reflek Icha memeluk Andre.. dia seneng banget! Andre masih diam.
Selama pelajaran berlangsung mereka hanya berdiam-diam dan canggung sekalee..
Hingga tibalah waktu yang ditunggu-tungu.. Istirahat! Tanpa basa basi, tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulut Icha, Icha menarik tangan Andre kasar, dan menariknya kearah perpus. Perpus lumayan jauh, harus dua kali naik tangga. Sedangkan Ara sudah ngetem dari tadi disitu, karena lokasi kelasnya yang ada didekat perpus. Andre ngos-ngosan karena harus naik tangga berulang-ulang. Tapi, toh dia tak berontak.
lo berdua ntar ke apartemen gue ya sepulang sekolah! Ga mau tau!”
Mereka tak mengatakan sepatah kata apapun hanya mengangguk lemah. Karena, mereka sadar melawan Ara sama saja melawan guru super kiler di asia afrika.. ga mungkin!
Sepulang sekolah..
“Yuk, naik mobil gue” Andre melongo.
what, lo udah naik mobil? Cool!”
“yub. Gue kan udah 17! Ga kayak lo pade! Masih 16! Hahahaha!”
VW kombi Ara bewarna merah cerah melaju dengan kencangnya membelah kemacetan Jakarta. Ga sampai 15 menit mereka sampai di apartemen Ara di daerah kuningan.
“tumben kaga macet”
Sini lo masuk semua! Sesampainya di apartemen. Dengan sigap, Ara menyuruh Icha membuka kaus kakinya. Melepas kacamata, dan akhirnya mengurai rambutnya.. Andre melongo
“Alisya?” pekik Andre kaget setengah mati.
Icha-eh Alisya- mengangguk.
“gue sama sekali ga ngenalin lo,loh. Cinta monyet gue bisa berubah jadi jelek banget gini.. hahahaha” Andre tertawa nyaring. Icha tertawa getir.
Akhirnya sisa hari itu mereka habiskan untuk bercengkrama dan bermain. Pukul 5, Ara memulangkan ke 2 temannya itu kealam –eh kerumah- nya masing-masing..
5. Hari sabtu pagi, disuatu hari libur di oktober yang indah. Ada sebuah SMS masuk ke HP GSM Icha, dari Ara.
“ga mau tau, jam 6 ada di sevel tempat biasa. Titik! – Ara”
What?! Ara ganggu banget.. gue lagi asyik bersantai dia malah minta ketemuan. Bodo amat ,ah. Masih ntar sore ini.. Icha masih asyik bersantai di sebuah kursi santai di dekat kolam renang rumahnya.. bergaya bak cewek penjaga pantai. Itu lah hobi terpendam Icha.. ckckck
Sekitar pukul 4 Icha baru mandi pagi. –WHAT!- lalu, bergegas ke rumah Sonia.
“udah lama ga hang out bertiga,nih.”
Sesampainya di rumah Sonia. Icha memencet bel, dan kebetulan yang membukanya adalah Sonia sendiri.
“Son, kata Ara ntar jam 6, kita ketemuan di sevel. Sejam lagi lo udha harus selesai make up!.
“sejam lagi kan jam 5,neng!”
“Jakarta macet!”
Sekitar jam 5 mereka hengkang dari rumah masing-masing menuju sebuah restoran waralaba itu. dan, benar saja macet merajalela.Pukul 15.45 Icha dan Sonia sampai disana. membeli dua gelas minuman dan duduk disalah satu bangku sambil menunggu Ara yang belum kelihatan batang hidungnya itu.
Pukul 06.03 Ara sampai di Sevel. Icha geleng-gelen kepala.
“telat tiga menit,Ra. ckckck” celoteh Icha..
mereka bertiga tertawa..
Ara mengambil segelas slurpee dan membayarnya, mereka bertiga naik kelantai 2. Bersantai di sana. Pukul 06.15 seorang cowok yang Ara dan Icha kenal datang. membawa segelas hal yang sama. Slurpee. Tanpa basa-basi si cowok tersebut duduk dimeja yang sama dengan 3 cewek itu. Sonia yang -merasa- tidak mengenal cowok itupun mengambil ancang-ancang mengusir cowok itu. Tapi, sepersekian detik sebelum itu terjadi, Icha angkat bicara.
“lo kesini juga?” Andre hanya mengangguk.
sejurus kemudiaN, Sonia tak mau ketinggalan berita.
“dia siapa?” mereka bertiga tertawa. Sonia melongo.
“dia Andre ingus. Temen kita SD! Masa lo lupa?”
“Ingusnya ga bisa diilangin?” Andre senewen sendiri.
Ara dan Icha menggeleng keras.
“andre.. andre.. ga kenal tuh gue.” celetuk Sonia.
“oh,iya, kita sekelas pas lo udah kelas 5 ya? Andre pindah pas kelas 4.. pantes ga inget..” Ara memberi tau, -eh sok tau maksudnya-
19.00. tiba-tiba Ara dan Sonia menyingkir dari meja itu entah karena alasan apa.
“lohlohloh.. ikut wey!” Icha ingin berdiri saat kedua temannya meninggalkannya. Tapi, Andre menggapai pergelangan tangannya pelan. Dan, matanya mengatakan Icha segera kembai duduk. Icha kembali duduk dengan bingung.
“Mereka kenapa sih,Ndre?” Andre menggeleng.
“Cha, sebenernya gue mau ngomong sesuatu.”
“apa?”
tangan Andre bermain-main diatas meja, meraih minumnya, tidak diminum, dikembalikan lagi ke situ.
“bisa kita balikan kayak zaman SD dulu?” pertanyaan Andre membuat seolah ada yang batu besar yang mengganjal tenggorokannya. Di meja yang berbeda ada Sonia dan Ara yang terkikik sambil mengacungkan jempol mereka.
‘KURANG AJAR. PENGKHIANAT!”
awalnya Andre ingin memegang tangan Icha, tapi diurungkannya lagi.
“Cha..”
“hmph, hah? oh iya.. bentar, eh tunggu.” Icha gelagapan.
“ga usah di jawab sekarang,cha. Tapi, satu hal aku akan nunggu jawaban kamu.”
tak lama, HP Andre berdering.
sebuah telpon
“hallo, mama, Andre lagi dirumah temen. apa? hah? dimana dia? iya..iya.. aku segera kesana.. iya mah!”
telponnya selesai, tapi raut wajah sedih tergambar jelas di wajah andre.
“kenapa?” Icha tampak khawatir pada raut muka sahabatnya yang tiba-tiba berubah itu.
“aku harus pulang. Lia, adikku, masuk rumah sakit.”
“maaf, aku tak bisa ikut,” Andre mengangguk paham lalu pergi.
“loh,loh,loh, kok pergi!”
“bengek lo semua! bengek! apa maksudnya ninggalin gue sama dia disini hah,”
Ara dan Sonia menampakan senyum sok manisnya, kemudia nyengir.
“ga usah nyengir. ga lebih bagus dari topeng monyet yang suka lewat didepan rumah!”
“ye maap, ini kan ide Ara,Cha.”
“oh nyalah-nyalahin lo sekarang?!?”
“udah ga usah berisik! lo berdua gue hukum. bayarin makan gue sepuasnya sekarang!”
ke dua orang itu segera mengecek dompet mereka masing-masing…
--
Aku benar-benar bingung harus menjawab apa pada teman-temanku. Khususnya Andre. Aku sangat menyangi mereka bertiga, khususnya An
Andre. Tapi, jujur aku belum siap punya pacar lagi sejak ditinggal Leo waktu itu. banyak luka yang belum terobati. Kini aku harus merajut kisah baru lagi? Arrgh! Aku benar-bena dilema. Akhirnya dengan berat, aku meng-SMS Sonia yang tadi pagi berangkat ke Bandung.
“Sonia!! Lo enak banget yak ke Bandung! Leh oleh jangan lupa” entah apa yang terpikir oleh ku. Tapi, aku tidak melayangkan pertanyaan sedikitpun pada temanku itu.
“leholeh? Ga janji.. budget gue kaga ada…”
“yee elu! :P”
“oh,iya,ngomong-ngomong soal leholeh nih, lo udah nerima belum Andre belom?” sms dari Sonia tadi membuat ku mual. Ingin mati, tepatnya.
“apa hubunganny”
“hubung-hubungin aje. Jawablah pertanyaan gue!”
“belum. Nape?”
“yakh.. iyain aje nape..”
“sip..”
“Peje –pajak jadian- bu
at gue dan Ara jangan lupa ye.”
“sip. :)”
Setelah SMS terakhir terkirim, Icha terjatuh ke tempat tidur, tan terlelap disana.
Pukul 8 malam, hari minggu yang sama.
“iya,Ndre.” Tanpa basa basi Icha mengirimkan SMS kepada Andre.
Setengah jam kemudian Andre membalas, tak ada huruf apapun disana. Hanya ada senyuman
“:)”
Hari sabtu berikutnya.
“mau jalan?”
“boleh,Ndre.”
“kemana?”
“gramed atau mall?”
“blok M aja yuk.”
“oke :)”
Pukul lima sore mereka berangkat. Setelah satu jam perjalanan sampai lah mereka ketempat yang dituju. Blok M.sesampainya di blok M, mereka mampir ke food court dan makan disana. Habis itu, Icha belanja sebuah sepatu, Icha memang tak sophacolic seperti Ara atau Sonia. Tapi, Icha kutubuku! Setelah membeli sepatu mereka segera menuju gramed yang bersebrangan dengan blok M, membaca dan membeli beberapa buku disana. Pukul setengah delpan mereka pulang, sejam kemudia Icha sampai dirumahnya.
good night,princess.”
bye..!” Icha melambai sesaat sebelum kekasihnya hilang dari hadapannya.
6. Sudah 3 hari, Icha tidak masuk. BBM dari Sonia,Ara,maupun Andre tak dibalasnya. Sonia yang rumahnya tak terlalu jauh pun sudah datang menjenguk sahabatnya. Tapi, rumahnya sepi. Bahkan kosong,Mungkin. Hingga pada malam itu sebuah SMS dari orang tak dikenal masuk.
“son, lo apa kabar? Ara dan Andre gimana? Sehat? Besok gue pulang. Jum’at paling udah pulang. Jangan dibalas ya, ini nomor tante gue. – Icha.”
Sesaat hati Sonia lega mendapat SMS dari temannya itu. Tapi, mengapa sahabatnya itu tidak memberi tahukan keberadaannya? Dimana sebenarnya dia? Segelumit pertanyaan mengeliat dan berkecambuk di pikiran Sonia.. Pikirannya tak bisa fokus mengerjakan PR IPS-nya.
“semoga lo sehat-sehat aja disana :) “
--
Pada hari jum’at seperti yang dijanjikan Icha. Ia sudah masuk ke sekolah. Semua sibuk mempertanyakan kemana dia selama 4 hari ini. Ngapain, dan kenapa ga ngabarin.
“Bandung, ada urusan keluarga gituu… dan Hape gue lowbat, aku lupa bawa carger. Sorry bangeeet,, :’)” wajah memelas Icha mendukungnya untuk minta maaf..
dua bulan kemudian :
"Cha, jalan yuk ke semanggi. Udah lama ga jalan bareng ,nih."
"Maaf,Son. Gue ga bisa. Gue udah janjii jalan sama Andre."
"Oh yodah. Next time aja ya, Cha."
--
" Cha, jalan yuk."
"kemana? kapan?"
"ntar sore ke dufan."
"duh, ntar sore ya. Maaf,Ra ga bisa. Gimana kalau sabtu aja. Gue free."
"emang lo mau kemana?"
"nonton bareng Andre."
"oh, ya udah. Tapi, maaf sabtu gue ga bisa. Lo tau kan gue ada kursus piano."
"oh,iya, gue lupa,Ra. Ya udah next time ya. God Bless :)"
Bukan sekali dua kali saja Icha tidak jadi pergi bersama teman-temannya. Sudah sangat sering,bahkan. Ara dan Sonia bahkan sudah muak mengajak Icha.
"udahlah, Son. Mending kita main berdua aja. Dia udah terlalu sibuk sama cowoknya." Begitu komentar Ara.
--
"don't forget your friendship if you in relationship."
tiba-tiba sebuah tweet dari sebuah akun yang diikuti Icha muncul. Ia hanya membacanya sekali, lalu melupakan tweet itu. Tapi, tweet itu tidak benar-benar bisa di lupakan oleh Icha. Tweet itu terus terkenang di pikirannya, terus terus terus tanpa henti dan membuat perutnya berputar ingin muntah.
"Ara.. Sonia.. maafin gue" ucapnya lirih.
kepalanya terasa berat sempoyongan. Tubuhnya tampak rubuh, tapi ia tetap menjaga keseimbangannya. Ia tidak pingsan! Icha hanya menangis.. terus..terus..terus..terus sampai matanya hampir bengkak.
-
Seperti yang diduga, Icha tidak sekolah hari ini. Matanya terlalu besar untuk masuk sekolah. Dan nyalinya keburu ciut sebelum ditertawakan teman-temannya yang melihat matanya yang besar itu.
-
"maaf." Ujar Icha pelan sekali. Suaranya hampir tak terdengar, Ia tampak berbisik.
"untuk apa?" Ara tampak bingung.
"For everything,Ra."
"maksud lo? ngomongnya yang bener. Gue ga ngerti." sambung Sonia.
"maaf gue ga bisa jadi temen yang baik buat kalian. Gue lebih sering sama Andre dari pada lo berdua."
"ya udah, enggak apa-apa. Gue cuma khawatir aja sama lo."
"khawatir? kenapa?"
"bentar lagi ujian kelulusan. Lo mau ga lulus?"
Icha menggeleng lemah.
"belajar ya."
-
Sebuah malam minggu,
"ndre, ini last night kita ketemuan."
"putus?"
"enggak."
"trus."
"ini juga hari terakhir gue balas SMS dan telp lo,"
"why?"
"gue cuma pingin fokus belajar buat ujian. Lo juga kan."
"lo bijaksana," Andre menambakan senyum yang tak pernah kulihat sebelumnya Sebuah senyum beku yang sangat indah, mengalahkan ke indah sakura sekali pun.
7. 2 tahun berlalu.
saat ini, aku sudah duduk di semester IV jurusan kedokteran.Hari ini, kami berenam -aku,Andre,Ara,Lima*pacarnya siAra* dan Sonia dan satunya lagi, Sweat, anjing kesayangan Ara..- sedang bermain bersama di Bali. Melihat sunset, berjemur, bermain dan melakukan apapun yang menyenangkan.
"I remember...
The way you glanced at me, yes I remember
I remember...
When we caught a shooting star, yes I remember

I remember...
All the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember...
All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn
When we were dancing in the rain in that december
And I remember...
When my father thought you were a burglar
I remember...
All the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember...
All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn

I remember...
The way you read your books,
Yes I remember
The way you tied your shoes,
Yes I remember
The cake you loved the most,
Yes I remember
The way you drank you coffee,
I remember
The way you glanced at me, yes I remember
When we caught a shooting star,
Yes I remember
When we were dancing in the rain in that december
And the way you smile at me,
Yes I remember "
suara Sonia mengalun lembut,Indah, tak ada yang mampu menandingi suaranya. No one!
“kenapa lo ga jadi singer aja,Son?” Tanya Lima begitu Sonia turun dari panggung.
“Ini penyanyi.” Sergahnya.
“Maksud gue penyanyi professional. Atau ikut ajang pencarian bakat nyanyi kayak Indonesia Idol?”
“oh. Pengen sih, tapi..” Sonia menggantung pembicaraannya.
“Jadi nyokabnya ga ngebolehin. Menurut nyokabnya Sonia, penyanyi tuh ga bisa jadi lahan cari makan. Ga menjanjikan gitu,” Ara memotong.
“Apal banget lo, dialog nyokabnya Sonia.” Andre senewen.
“Iyalah.. siapa dulu dong.. Nyokabnya Sonia.” Ujar Icha.
“Nyokab gue? Mitamit cabang baby,deh..” ujar Sonia sambil mengetuk-ngetuk tangannya ke kepala dan ketanah berulang-ulang.
“Gue juga ogah jadi nyokab lo!” Ara tak kalah senewen.
“Tunggu deh,son, lo bilang tadi ape? Mitamit cabang baby? Emang lo punya baby? Pacar aja kagak..”
“cari masalah banget lo,Ndre. Ngeremehin.. Tapi, tunggu deh, emang iya sih, gue emang kagak punya cowok ya..” tiba-tiba Sonia menjadi tidak bersemangat.
“emang apa salahnya,sih,ga punya pacar?” tanyaku menyemangati.
“ga salah sih, KALAU SONIA MASIH SMP. Tapi, dia kan udah bangkotan..” tawa Ara dan Andre meledak. Aku dan Lima hanya diam..

“ayolah. Itu lucu!” sergah Ara menghentak bahu Lima,kekasihnya. Lima hanya tersenyum dibuat-buat.
“tunggu,deh, pacar terakhir lo. Siapa? Kemana dia?” Andre bertanya untuk membuat Sonia galau.
“Yudha. Australia.” Setelah mengucap nama itu, tampak sebuah senyum terkembang di wajah berlesung pipi,Sonia.
“loh? Lo kok seneng, diingetin sama cowok yang udah ninggalin lo?” tanya Andre gusar, Andre sangat mengharapkan Sonia menampakan muka bak nenek lampir. Tapi, Sonia tampak bahagia.
“iya. Soalnya Yudha janji bakal balik..”
“Kalau enggak balik gimana?” Ara menakut-nakuti.
“ga mungkin. Yudha ga pernah ingkar janji.” Tiba-tiba Lima melirik kearah Sonia dan memuntahkan isi mulutnya,Jus jeruk hangat.
“siapa? Yudha? Australia?” tanya Lima.
“iya, dari tadi kan gue bilang gitu. Lemot banget sih lo,Lim.”
“Yudha yang baru wisuda juni kemaren?” tanya Lima. Sonia mengangguk.
“Yang tingginya sekitar satu koma tujuh meter?” sekali lagi, Sonia mengangguk.
“Yang nge-Gym tiap weekend?” Sonia tetap menganguk.
“Tunggu deh, kok kayaknya lo kenal banget sama cowoknya Sonia.. jangan-jangan…” Ara menaruh curiga pada kekasihnya itu. Lima tak menggubris
“yang tidur pake celana pendek yang kalau enggak bergambar spongebob berarti gambar sinchan..”
“Mana gue tau! Lo kira gue pernah liat dia bangun tidur?” Sonia mulai senewen.
“astaganaga. Kayaknya gue perlu kirim e-mail ke Yudha buru-buru deh..” Lima tampak panik.
“Kamu kenal dia,Lim?” Ara bertanya lagi. Tapi, tetap tak digubris Lima.
“hah? E-mail? Emang dia kenapa?”
“iya. Dia itu kan BFF gue, nah waktu dulu dia pernah cerita kalau dia punya cewek yang super cantiiiikk,, Cinderella. Lewat!” Sonia tersenyum mendengar itu.
“Nah, ternyata eh ternyata, ceweknya itu, elo! Yang mit amit cabang baby! Gue harus ngasih tau dia supaya pake kacamata super tebel sesegera mungkin.”
“Kurang ajar!” Sonia menahan amarah. Ara dan Icha tertawa.
“jadi dia BFF lo?” tanya Ara tak percaya.
“Iya, Ra, ga percayaan banget dah.”
"eh, disautin, masih sadar ada yang ngomong toh." Ara memanjangkan bibir bawahnya keluar.
"jangan gitu dong,ntar jelek.."Lima membujuk.
"emang udah jelek dari sononya.. hahaha" Sonia terkikik
"Hus, ga boleh gitu"Andre menegur.
"Udah dari pabriknya," Lanjut Andre.
Sonia dan Andre terkikik. Icha hanya geleng-geleng kepala.
"tuh,liat,cewek lo aje bingung!"Ekor mata Ara menuju ke arah Icha, tapi, ia tetap menjulurkan lidah ke arah Sonia dan Andre.
"Biarin, bloe!" Sonia tak mau kalah mengeluarkan lidahnya.
"Panjang nemen,rek.." Icha mengeluarkan logatnya.
"Lo kan Chinese! Gimana ceritanya ngomong kayak gitu? Sok jawa ,deh!" Sonia senewen, merasa logatnya di plagiat oleh temannya itu.
"hahahaha, kalah yaaaa..." Ara angkat mengikik.
"diem lo,manado!" Sonia tampak marah.
"Ape lu,Jawa?"
"eh.. eh.. kok jadi bawa-bawa SARA sih? ga boleh.." Lima mengacak-acak rambut kekasihnya.
"iya cayaaanngg.."suara Ara tampak manja.
"Jijay.." Sonia tampak muak.
"sirik tanda tak mampu."
"gue? sirik? sama lo? Mitamit" Lima dan Icha hanya geleng-geleng kepala.

"Tunggu,deh, dari pada kita ngobrol ga jelas gini mending gue jadian aja sama Andre.” Tiba-tiba Sonia memegang tangan Andre
“TMT –teman makan teman- lo!” Ara menghardik.
“Bodo amat lah~” Sonia menjulurkan lidah ke arah Ara, Ara membalas. Icha hanya tersenyum.
“Kalian kayak anak-anak.” Lima tampak tak senang memandang pemandang tak menyenangkan itu. icha dan Lima memutuskan pergi mencari makanan malam itu, dari pada ikut-ikutan gila dengan tiga orang gila itu...
Malam itu, Lima dan Icha bercakap-cakap tentang apapun –khususnya pacar meraka masing masing- mereka memandang Bali yang terhampar dengan pantai indahnya. Sebelum mereka harus pulang,besok.
8.  Sebuah senin yang indah di awal februari, sebuah telpon bordering di rumah Sonia. Sisca, adik Sonia yang mengangkatnya, saat telpon berbunyi Sonia belum bangun. Menurut pengakuan Sisca yang hanya  3 tahun usiannya lebih muda dari Sonia, telpon itu datang dari seorang pria yang memiliki suara berat dan tampaknya orang itu sedang kurang sehat, karena terdengar bunyi yang tidak mengenakkan dari telpon, yang menurut Sisca adalah bunyi dahak yang menyangkut di tenggorokan pria itu, pria itu menitipkan salam sayang pada Sonia via Sisca dan berjanji akan pulang tidak lama lagi, penuturan itu jelas membuat Sisca secara refleks mengejek Sonia dengan teriakan Cie yang diteruskan oleh Stefanny dan Salma yang tiba-tiba datang. Kamar Sonia pun tiba-tiba menjadi riuh pagi itu, tiga tumpuk bantal kapuk super tebal Sonia-pun tak mampu meredam suara ketiga adiknya  itu.
“apasih? Berisik tau!” Sonia sudah mulai geram melihat kelakuan tiga adiknya itu yang kian hari kian menjadi.
“gue sebutin nih nama pacar lo satu-satu biar kalau mama denger lo dimarahin!” lanjut Sonia yang berakhir dengan adegan menjulurkan lidah yang membuatnya tampak menjadi seperti anak SD yang mengejek teman sebangkunya.
“emang pacar gue siapa coba,son? Kayak lo tau aja!” tantang Sisca pada kakaknya itu.
“tau lah! Si Faridh yang kakak kelas lo itu kan?” Sisca menelan ludah mendengar pernyataan kakaknya itu. Sisca celingak celinguk mencari keberadaan mama-nya yang bisa saja muncul kapanpun. Karena ketahuan pacaran sebelum lulus SMA sama dengan membuka sumur maut.. HIIIII…
“kalau aku,sih, ga peduli. Aku kan ga punya pacar..” ujar Stefanny bangga sambil menepuk-nepuk dadanya.
“iya,ya, enak banget jadi lo.. Jomblo ngeness!! Hahaha.. “ Siska tertawa dengan nada mengejek pada adiknya yang hanya lebih muda satu tahun darinya itu.
Tiba-tiba saja Sonia angkat bicara.. “oh, single toh! Terus yang suka ngantar pulang kamu sampai pengkolan situ siapa,Stef? Yang pake kacamata itu lohh.. yang… apa perlu gue sebut namanya?” Sonia mengeluarkan nada mengancamnya yang sudah lama tidak dia pakai setelah perginya Yudha ke Australia.
“ah.. yang mana kak?” Stefanny menampakkan wajah polosnya.
“gue sebut nih ya, namanya.” Stefanny menelan ludahnya dalam-dalam, tapi, dalam hatinya paling Sonia hanya berlagak. Enggak mungkinlah Sonia tau.
“Ju….” Sonia menggantung kalimatnya.
“Ju? Siapa,Son? Salma dan Sisca tampak penasaran.
“cek aja dompetnya.” Mata Salma dan Sisca segera tertuju pada dompat kecil bergambar beruang milik Stefanny. Sisca jelas lebih kuat dibanding Stefanny yang kurus ceking, dibantu Salma, tak perlu waktu lama bagi mereka untuk melumpuhkan Stefanny.
“Julian? Demi apa?” Tiba-tiba suara Sisca terdengar shock! “gue kan temennya!Best friendnya pula! Masa gue ga tau?”
“begitulah.” Sonia mengangkat bahu. Stefanny sudah terduduk dilantai meringis kesakitan setelah kedua tangannya diplintir oleh lawan yang benar-benar tak imbang untuknya. Air matanya juga mengalir sedikit demi sedikit dari mata super sipitnya itu. tapi, ketiga saudara perempuannya sama sekali tak perduli.
“kalau salma sih gue tau.” Sisca berucap santai.
“siape? Kasih tau dong! Kan lo udah ketahuan, Stefanny juga udah tuh, sampai nangis. Lagi… hahaha”
Salma bertiingkah sok bodo amat, padahal dalam hati dia meringis.
“Sama Rian yang kapten basket di SMA gue, yang pinternya setengah mampus! Yang gantengnya… ngalahin Happy salma!” seru Sisca berapi-api.
“ya iyalah. Ga mungkin Happy Salma ganteng. Dia kan cewek” Sonia tampak sewot. Tapi, Salma ikut meringis menyadari dirinya sudah ketahuan pacaran sama seorang cowok yang lima tahun lebih tua darinya. Ia baru saja duduk dilantai dan ingin menyandarkan kepalanya di bahu Stefanny saat Stefanny berdiri dan menghapus air matanya.
‘dut’ sebuah bunyi dari negeri antah berantah terdengar, tapi, tak ada satu pun dari mereka berempat yang perdulu. Mereka memang keluarga yang aneh, mereka sangat tak perduli pada bunyi apapun. Mereka akan marah ketika mendengar sebuah bunyi yang tak lama mengeluarkan bau. Tapi, karena kali ini tak berbau, mereka sama sekali tak perduli.
“hah? Rian? Yang cakepnya keambang batas itu? yang tinggi itu? yang kalau pacaran awet banget itu? demi apa? Woww! Ga nyangka gue kita dikalahin sama anak kelas delapan. Padahal dia sama-sama kelas sebelas kayak lo kan, Sis?” tantya Stefanny tak percaya.
“iya sih, emang gue sama-sama kelas sebelas. Tapi, dia kan kelas unggulan. Gue kan regular. Tapi, masalah dia benar-benar jadian atau enggak sama ADIK kita ini, tanya aja sama KAKAK kita,ini.” Sisca menekan kata ‘Kakak’dan ‘Adik’.
“iya, bener deh. Demi apapun gue ga bo’ong! Gila aja ada cowok yang nganter pulang tiap hari. kecuali dia tukang ojek, hahahaha” mereka tertawa lepas,kecuali Salma. Tawa mereka terhenti melihat Gilbert yang masuk membawa makan. Membicarakan pacar di depan Gilbert sama saja bunuh diri, Gilbert adalah pengadu ulung. Bersamaan dengan masuknya Gilbert kekamar Sonia mengajak kakak-kakaknya itu sarapan, Salma,sisca,Stefanny, memilih bubar untuk ikut sarapan.
Tepat empat hari kemudian sesosok pria berusia sekitar 22 atau 24 tahunan, datang mengunjungi rumah Sonia. Pria itu memakai kemeja putih,jas hitam, dan dasi bewarna biru donker dan ada sedikit motif bunga disana.
“Sonianya ada?” tanya pria itu tanpa basa-basi.
“iya. Sebentar ya. Saya panggilkan.” Jawab Sisca santun. Dalam hati Sisca bertanya, siapa pria itu? tampan sekali.. jangan sampai dia pacarnya Sonia karena jelas Sisca tak mengizinkan. Orang setampan dia cocoknya dengan aku! Serunya dalam hati.
“ada orang didepan,Son.” Ujar Sonia pada Sisca yang mengetuk pintunya.
“siapa?” tanya Sonia.
“lihat aja sendiri. “ Sisca berlalu ketika informasinya cukup untuk Sonia. Sonia membuka handle pintu kamarnya perlahan. Berjalan dengan mata yang masih sangat mengantuk. Tak ada nuansa kebahagiaan dari raut wajahnya. Pikiran tentang Yudha bergelayut di setiap sudut otaknya. ‘Yudha, kapan kamu pulang?’ Sonia berkata pada dirinya sendiri. Hingga ia melihat sesosok pria yang sangat mirip dengan Yudha, Sonia mengucek matanya berulang-ulang, tapi, pria itu tetap ada disana.
            “ini bukan mimpi.” serunya yakin
“ada apa kesini,Yud? Kapan pulang dari Australia?” Sonia bertanya tanpa basa-basi. Ia bertanya tampak seperti orang yang tidak menginginkan kepulangan Yudha. Tapi, hati kecilnya bergejolak. Ada sesuatu yang ingin ia muntahkan dari bibir mungilnya itu. Tapi, toh, tak terucapkan. Ia mengejek dirinya sendiri. Ia ingin mati karena telah membohongi dirinya sendiri. Tapi, toh, ia tetap terpaku memandangi Yudha dengan tatapan hampa. Ia merindukan Yudha,sangat. Perlahan setitik air membasahi pipinya. Ia mengutuki dirinya sendiri! Kenapa ia harus terlihat lemah didepan orang yang harus ia tinggalkan? Tapi, tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut kedua sejoli itu. Tapi, sebuah senyuman terukir dari bibir Yudha. Senyum yang indah. Senyum yang menghangatkan. Seketika, jiwa Sonia terasa kekurangan cairan. Ia tampak ingin mati. “oh, Tuhan, jangan lagi..” serunya dalam hati. Yudha mendekat perlahan nafas kekasihnya itu mulai terasa mendekati tubuhnya. Pria itu mendekapnya lembut.
“Udah, jangan nangis. Aku udah disini.” Sisca dan Salma mengintip dari balik lemari jati ibu mereka.
“siapa dia? Jangan bilang dia pacarnya Sonia.” Rasa takut berkecambuk dipikiran Sisca.
“Mungkin aja. Emang kenapa kalau iya? Kak Sisca kan juga udah punya pacar.”
“Iya,sih” Hati Sisca remuk seketika. Patah hati. Ia meninggalkan Salma yang masih asyik nguping pembicaraan Sonia dan Yudha.
“kapan sampai?”
“ Minggu malam. Maaf aku baru kesini. Kemarin aku ada meeting dengen clien di daerah Bogor. Kalau tender aku sukses, aku bisa bolak balik, jakarta-Bogor,kan? Kita bisa jadi sering ketemuan.” Yudha berkata antusias.
“Tapi, aku enggak yakin,Yud.” Wajah Sonia tampak tidak bersemangat.
Why?”Semangat Yudha sudah pupus sepersekian detik setelah mendengar pernyataan terakhir Sonia.
“Entahlah. Banyak hal yang tak bisa kujelaskan.” Sonia tampak lesu.
I love you. And no one and no reason can change that.” Yudha berkata sungguh-sungguh.
Really? Kalau lo emang serius, lo datang ke acara ini. Dua hari lagi. “ Sonia masih sangat tidak yakin.
            “ya udah.” Yudha melihat sekilas kearah arlojinya. “sudah waktunya. Aku harus pergi ada meeting.” Yudha mengacak-acak rambut kekasihnya itu. Sonia tersenyum, Yudha masih seperti dahulu. Yudha masih Yudha yang ia sayangi. Yudha yang lebih mementingan meeting dari pada apapun. Dada Sonia bergejolak bahagia. Sudah lama sekali,ya,Yudh..
Sonia mengantar Yudha sampai ke beranda. Melihatnya sampai taxi yang ditumpanginya tak terlihat lagi. Membayangkan dua hari lagi, saat Yudha datang ke cafe tempat dia tampil terakhir kali. Tak cukup lama untuk Sonia berpikir. Ia segera loncat kearah telpon, memencet nomor demi nomor, Icha mengangkat telpon itu dengan riang. Icha menjadi benar-benar riang setelah mendengar celoteh riang sahabatnya tentang Yudha. Tapi, Icha menyarankan menceritakan pada Lima. Lima lebih mengerti tentang Yudha, setidaknya lebih dari pada yang Icha tau..
            “Kayaknya lo emang bener,deh,Cha. Ya udah gue telfon Lima dulu ya.”
‘tet.’ telpon dimatikan langsung oleh Sonia sebelum mereka berdua mengucapkan salam penutup.
cukup lama Sonia menunggu. Barulah kemudian Lima mengangkat telpon dari Sonia.
            “lambat,lo! Masa sekretaris lo mulu yang ngangkat telpon dari gue?”
            “Hahahaha, maklum gue orang sibuk. Lagian itu tadi bukan sekretaris gue, pembantu gue.”
disebuah ruangan yang cukup besar,rumah Lima. Seorang gadis berusia sekitar dua tahun lebih muda dari Sonia menatap Lima geram. Ia adik Lima yang tadi disebut sebagai pembantu.
            “Tega,lo! Dia kan adek lo! Lagian dia kan galaknya setengah mampus!” Sonia tampak getir.
            “Udah, ada apa? to the point aja. Gue sibuk,nih.” Lima terdengar tak sabar.
            “Yudha di Jakarta,Lim.” Sonia menahan napas.
            “Udah tau. So?” tanya Lima polos.
            “ya. What do I do?” Pertanyaan itu membuat Lima diam sejuta bahasa. Tiba-tiba tawa Lima pecah...
            “Kok lo nanya sama gue sih,Son? Yang ceweknya kan elu.”
            “yub. I know, but, gue selalu kehabisan stock kata-kata tiap didekat diia.. Gimana cara gue ngomong?” Suara Sonia terdengar sedih. Lima kembali terdiam, kali ini ia serius. Bukan sedang menahan tawa.
            “Gue pingin dia ga pergi lagi,Lim? Gue pingin dia stay di Indonesia. Tapi, gue ga mau jadi egois atau possesive.” Nada suara Sonia terdengar frustasi. Sangat.
            “I know, posisi lo sekarang emang lagi berat,Son. Tapi, gue punya cara..”
                        ***
Hari Minggu malam. Sebuah cafe di Kemang.
Hari ini, hari terakhir Sonia nyanyi. Mamanya udah ngelarang, kalau Sonia terus bernyanyi, uang jajannya di putus. Uang kuliah bayar sendiri. Itu jelas sangat mencekik Sonia. Dan dia hari terkahir ini, ia sangat berharap Yudha datang. Karena ini akan menjadi saat pertama dan terakhir bagi Yudha melihat Sonia tampil. Malam itu, sekitar pukul tujuh. Sonia naik ke panggung yang hanya lebih tinggi sekitar setengah meter dari lantai biasa. Ia bernyanyi beberapa lagu, hingga pada lagu ke empat. Sonia dan bandnya istirahat sebentar. Sampai sekitar pukul setengah sembilan Yudha belum juga datang. Sonia was-was. HP Sonia berdering,dari Yudha.
“maaf,son. Mungkin aku agak telat atau bahkan ga datang. Disini macet banget.”
Sonia tertawa getir. Rohnya seolah terbang meninggalkan tubuhnya. HP mungil Sonia tergelincir dari tangannya menimpa lantai basah yang bewarna merah kekuningan. Air matanya membasahi pipinya. Wedges cokelatnya tak mampu menopang tubuhnya. Sonia rubuh.
“aku kecewa banget,Yud..” setelah itu tak ada satu halpun yang diingat oleh Sonia.

Sonia terbangun disebuah tempat, yang sangat ia kenal. Tapi, sialnya ia lupa tempat itu.
            “Yu..dha” Sonia mengucap terbata. Tak ada yang menyahut. Tapi, tangan kiri Sonia terasa berat. Ada Yudha disana. Ia tertidur nyenyak.
            “Yudha..” Sonia menggerak-gerakkan tangannya. Yudha tersentak.
                        ***
Hari itu, hari pernikahan Lima dan Ara, acaranya di adakan di sebuah hotel di daerah Jakarta Pusat. Lima menggunakan jas hitam dan dasi merah maroon yang senada dengan dress maroonnya yang cantik. Mereka terlihat sangat serasi..
                        ***
Diwaktu yang sama, di sebuah rumah sakit di Singapura, sebuah suara bayi menggema. Icha tersenyum sambil menatap lembut bayi itu. Bobotnya 3,5 kg dengan tinggi 37 cm. “Dia cantik seperti kamu.” Puji Andre.
“kamu ga takut diketawain lagi kan,Sya?” Tanya Andre.
“I’m proud to be me.”
“namanya, Rea Prischilla. agar ia bertumbuh menjadi gadis yang kuat dan cantik.” Ujar Alisya mantab.
                        ***
“akhirnya.. Selamat,ya,kak..” Ujar Salma yang kebetulan hari itu sedang berlibur di Canberra
“Yudha, pasti seneng banget..” Segera Salma menelpon Yudha, Yudha mengangkatnya
“Hallo,Yudh! Ini aku, Sonia. Aku positive hamil.”Suara Yudha terdengar sangat bahagia. Akhirnyaa....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VC 7 POSTTEST : MASALAH KONKURENS

a. Jelaskan 2 metode untuk menjamin SERIALIZABILITY b. Pada Metode Locking  untuk transaksi terus menahan suatu kunci sampai dilepaskan s...